Budaya

Pengertian dan Sejarah Ketoprak

Pengertian Ketoprak

            Hampir sama dengan ludruk, ketoprak merupakan drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian dan digelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita dari sejarah, cerita panji, dongeng dan lainnya dengan diselingi lawak. Ketoprak muncul pada tahun ± 1922 pada masa Mangkunegaran. Kesenian ini diiringi musik dari gamelan yang berupa lesung, alu, kendang dan seruling. Karena cerita atau pantun-pantunnya merupakan sindiran kepada Pemerintah atau Kerajaan maka kesenian ketoprak ini dilarang. Namun kesenian rakyat ini akhirnya tetap berkembang di pedesaan/ pesisiran. Setelah sampai di Yogyakarta ketoprak disempurnakan dengan iringan gamelan Jawa lengkap dengan tema ceritanya mengambil babad sejarah, cerita rakyat atau kerajaan sendiri. Ketoprak ini dilakukan oleh beberapa orang sesuai dengan keperluan ceritanya.

            Adapun ciri khas dari ketoprak ini dilakukan dengan dialog bahasa Jawa. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Banyak pula diambil cerita dari luar negeri. Tetapi tema cerita tidak pernah diambil dari repertoar cerita epos (wiracarita): Ramayana dan Mahabharata. Sebab nanti pertunjukkan bukan ketoprak lagi melainkan menjadi pertunjukan wayang orang.


Sejarah Ketoprak

       
    Ketoprak adalah satu dari puluhan kesenian tradisional yang masih dapat bertahan hingga sekarang. Kesenian ini lahir sekitar tahun 1920 di Solo, namun mencapai puncaknya di Jogja pada sekitar tahun 1950an.

            Semula ketoprak merupakan hiburan rakyat yang diciptakan oleh seseorang di luar kerajaan. Mereka menyiapkan panggung dan berlagak menjadi raja, pejuang, pangeran, putri, dan siapa pun yang mereka inginkan. Pada perkembangannya, hiburan ketoprak juga diminati oleh anggota kerajaan, dan di setiap penampilannya selalu ada pelawak yang membuat ketoprak terasa semakin hidup.

            Kesenian yang dalam penyajian atau pementasannya menggunakan bahasa Jawa ini memiliki cerita yang beragam dan menarik. Mirip dengan teater, pertunjukan ini diisi dengan dialog-dialog yang membawa penonton merasakan atmosfir “dunia” Jawa pada masa Raja-Raja berkuasa.

            Ceritanya diambil dari mana saja, baik dari sejarah tanah Jawa hingga cerita-cerita fantasi. Penampilannya juga selalu disertai tembang-tembang Jawa yang disisipkan di beberapa bagian cerita, sehingga dapat juga dibilang ketoprak di satu pihak mirip dengan operet. Kostum dan dandanannya menyesuaikan dengan adegan atau lakon.

            Pada awalnya, ketoprak menggunakan iringan suara lesung dan alu yang biasa digunakan sebagai alat penumbuk padi. Alat-alat ini menimbulkan suara: prak, prak, prak, yang merupakan asal dari kata ketoprak. Namun saat ini jalan cerita ketoprak diiringi oleh irama gamelan dan keprak yang tak henti. Dan ini sangat menarik dinikmati, terutama apabila memang pertunjukan ketoprak yang disuguhkan meng`ngkat cerita humor yang dapat mengundang tawa.




Sumber: http://ockym.blogspot.com/2011/01/pengertian-ketoprak.html


Jenis-jenis Ketoprak



Jenis-jenis Ketoprak
            Berdasarkan alat yang digunakan dalam pementasan ketoprak, ketoprak dibedakan menjadi:
  • Ketoprak Lesung
            Sesuai dengan namanya, alat musik yang dipergunakan dalam Ketoprak ini terdiri dari lesung, kendang, terbang dan seruling. Ceritera yang dibawakan adalah kisah-kisah rakyat yang berkisar pada kehidupan di pademangan - pademangan, ketika para demang membicarakan masalah penanggulangan hama yang sedang melanda desa mereka atau ceritera-ceritera tentang Pak Tani dan Mbok Tani dalam mengolah sawah mereka.
            Oleh karena itu kostum yang dipakaipun seperti keadaan mereka sehari hari sebagai penduduk pedesaan, ditambah dengan sedikit make up yang bersifat realis.
            Untuk mementaskan Ketoprak Lesung dibutuhkan pendukung sebanyak ± 22 orang, yaitu 15 orang untuk pemain (pria dan wanita) dan 7 orang sebagai pemusik. Dalam pertunjukan ini tidak dikenal adanya vokalis khusus atau waranggana. Vokal untuk mengiringi musik dilakukan bersama-sama baik oleh pemusik maupun pemain.
            Pertunjukan Ketoprak Lesung ini menggunakan pentas berupa arena dengan desain lantai yang berbentuk lingkaran. Sampai sekarang Ketoprak Lesung yang ada masih mempertahankan alat penerangan berupa obor, tetapi ada juga pertunjukan Ketoprak Lesung yang menggunakan lampu.             Salah satu perbedaan Ketoprak Lesung dengan Ketoprak Gamelan adalah adanya unsur tari. Pada waktu masuk atau keluar panggung atau kegiatan lain pemain Ketoprak Lesung melakukannya dengan tarian yang bersifat improvisasi. Lama pertunjukan Ketoprak Lesung ini tergantung pada kebutuhan. Bila diminta bermain semalam suntuk maupun setengah malam pemain ketoprak ini akan menyesuaikan diri dengan mengambil lakon yang tepat untuk itu, akan tetapi dengan catatan bahwa pertunjukan hanya dilakukan pada malam hari.
  • Ketoprak Gamelan
Meskipun merupakan perkembangan lebih lanjut Ketoprak Lesung akan tetapi fungsi pertunjukan Ketoprak Gamelan ini tidak berubah, yaitu sebagai hiburan bagi masyarakat, yang kadang-kadang menyelipkan penerangan penerangan dari pemerintah kepada mereka.
Hanya saja ceritera yang dimainkan dalam Ketoprak Gamelan ini lebih banyak diambil dari ceritera babad tentang kerajaan-kerajaan yang pernah ada, terutama di Jawa. Untuk mementaskan Ketoprak diperlukan pendukung sebanyak kurang lebih 34 orang pemain, penabuh gamelan, waranggana, dan dalang.Lama pertunjukan untuk setiap pementasan mencapai 7 sampai 8 jam, dan bisa dilakukan baik siang maupun malam hari. Dalam pertunjukan Ketoprak ini para aktor biasanya berpedoman pada naskah singkat yang dibuat oleh dalang. Naskah ini hanya memuat pedoman tentang adegan apa saja yang harus ditampilkan dari inti dan ceritera yang dipentaskan. Dialog, blocking dan lain-lain permainan di panggung sepenuhnya dilakukan oleh pemain secara improvisasi. Ketoprak ini menggunakan alat musik yang berupa gamelan Jawa lengkap pelog dan slendro, atau slendro saja.
Para pemain Ketoprak memakai kostum dan make up yang bersifat realis sesuai dengan peran dan waktu ketika mereka tampil. Tempat pertunjukan berupa pentas berbentuk panggung dengan dekorasi (latar belakang) yang bersifat realis (sesuai dengan lokasi kejadian, misalnya di hutan, di kraton dan lain-lain). Demikian juga dialog yang diucapkan para pemainnya.
Ketoprak Gamelan dapat dikatakan sebagai drama tradisional yang biasanya mengambil ceritera tentang kerajaan-kerajaan tempo dulu. Sebelum permainan utama ketoprak di mulai, biasanya disuguhkan terlebih dahulu pertunjukan extra berupa tari-tarian yang tidak ada hubungannya dengan ceritera yang akan dimainkan.

Modernisasi Ketoprak
            Seiring berkembangnya jaman, budaya-budaya tradisional harus dapat berkompromi dan beradaptasi dengan jaman sekarang agar mereka bisa bertahan.  Modernisasi ini bertujuan agar budaya tradisional Indonesia tidak punah. Beberapa tayangan di televisi yang berhasil mempertahankan budaya ketoprak adalah Ketoprak Humor, Ketoprak Canda, Ketoprak Jampi Stres dan Ketoprak Plesetan. Tayangan-tayangan televisi di atas telah dimodifikasi sedemikian sehingga mereka dapat beradaptasi dengan jaman sekarang, tetapi tidak kehilangan esensi mereka sebagai kebudayaan tradisional.
Menurut data Survey Research Indonesia, salah satu lembaga pemeringkat acara televisi, akhir Juni 2000, rating (peringkat) Ketoprak Canda 5. Artinya, acara itu ditonton oleh 5% dari sejumlah pemirsa di beberapa kota yang disurvai. Sementara Ketoprak Humor mengumpulkan rating 9. Dari angka-angka di atas, dapat kita lihat bahwa modernisasi ketoprak di Indonesia cukup berhasil.




Contoh Naskah dan Video Ketoprak



Naskah Ketoprak “Sang Gajah Mada” Anggitanipun Sri Paminto Unnes.

Adegan I         : Gambaran suasana perang, Gajah Mada melamun
Suasana           : Perang, trintim
Gajah Mada                : Aku kudu bisa... kudu bisa... oh, Dewata Hyang Agung, mugi...
Paman Harya Tadah    : Mada...
Gajah Mada                : Paman Patih Harya Tadah... mangga... mangga paman, katuran pinarak...
Patih Harya Tadah      : Sajak kaget aku teka ing papanmu.
Gajah Mada                : Wanci dalu paman rawuh, kamangka paman Tadah taksih gerah, lan boten wonten ingkang ndherekaken, menika ingkang damel kaget.
Patih Harya Tadah      : Mada, larane ragaku ora sepiraha yen katimbang klawan lelakon Majapahit... ya bengi iki wektu ingkang prayoga kanggo ndandani Majapahit.
Gajah Mada                : Paman...
Patih Harya Tadah      : Mada,  mangertia yen aku wis munjuk nawala undhur dhiri ing ngarsane gusti prabu putri, minta lengser saka kalungguhan mahapatih Majapahit... lan gusti prabu putri wus nyarujuki...
Gajah Mada                : Paman badhe lengser?
Patih Harya Tadah      : Bener, aku wus yuswa nengahi, ragaku wis ringkih, pamikirku wis ora trewaca, wus ora jumbuh lan kahanan Majapahit kang lagi mbutuhake narapraja kang tangguh kanggo kajayaane Majapahit... mula Mada, sawegaa... gumanti kalungguhane pun paman...
Gajah Mada                : Kula?
Patih Harya Tadah      : Ya...
Gajah Mada                : Boten, paman. Menika sanes karampungan malah bakal saya damel benter swasana Majapahit.
Patih Harya Tadah      : Genea?
Gajah Mada                : Pundhak kula dereng kiyat mikul kalungguhan mahapatih ing Majapahit. Taksih kathah para wredha ingkang langkung pantes, ing antawisipun para nayaka saking Panca Ri Wilwatikta, Mahamenteri Hino Dyah Janardana, Mahamenteri Sirikan Syah Mano...
Patih Harya Tadah      : Saka pamawasku ora ana kang pantes kejaba kowe, Mada.
Gajah Mada                : Dereng Paman.
Patih Harya Tadah      : Mada, jujura marang kapribadenmu... kang dakngerteni lan dakrasakake prajurit iku net, krenteg, lan karep kang kudu dadi sing pinunjul. Mada nalika kowe dadi prajurit, duwe pangangen-angen dadi lurahe tamtama. Lamun wis apangkat lurahe tamtama duwe angen-angen kang luwih dhuwur dadi senopati, mangkono sapiturute... mula saka pandhugaku lan yen ora selak batinmu... Gajah Mada mesthi duwe pangangen-angen kapingin kalungguhan mahapatih Majapahit...
Gajah Mada                : Dereng kathah labuh labet kula tumrapipun Majapahit, Paman Harya Tadah...
Patih Harya Tadah      : Mada, jujura marang swaraning batinmu.
Gajah Mada                : Kula...
Patih Harya Tadah      : Mada...

Berikut contoh dari video ketoprak: http://www.youtube.com/watch?v=C6x9kfHFOb0



Sejarah Kesenian Gamelan Jawa

Salah satu kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dalam bidang musik adalah seni gamelan. Gamelan banyak ditemui di berbagai daerah Indonesia. Musik gamelan terdapat di Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Tentu saja, varian alat musik yang digunakan berbeda. Baik nama maupun bentuk.
Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling. Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai suatu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.
Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa?
Awalnya, alat musik instrumen gamelan dibuat berdasarkan relief yang ada dalam Candi Borobudur pada abad ke-8. Dalam relief di candi tersebut, terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari kendang, suling bambu, kecapi, dawai yang digesek dan dipetik, serta lonceng. Sejak itu, alat musik tersebut dijadikan sebagai alat musik dalam alunan musik gamelan jawa. Alat musik yang terdapat di relief Candi Borobudur tersebut digunakan untuk memainkan gamelan. Pada masa pengaruh budaya Hindu-Budha berkembang di Kerajaan Majapahit, gamelan diperkenalkan pada masyarakat Jawa di Kerajaan Majapahit. Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.
Bukti otentik pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Pada relief-nya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup “orang jawa” pada umumnya.
Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa” selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”,  “pélog”,  ”Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
  • Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu :  1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.
  • Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu :  1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar.
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Alunan musik gamelan jawa di daerah Jawa sendiri disebut karawitan. Karawitan adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan alunan musik gamelan yang halus. Seni karawitan yang menggunakan instrumen gamelan terdapat pada seni tari dan seni suara khas Jawa, yaitu sebagai berikut.
  1. Seni suara terdiri dari sinden, bawa, gerong, sendon, dan celuk.
  2. Seni pedalangan terdiri dari wayang kulit, wayang golek, wayang gedog, wayang klithik, wayang beber, wayang suluh, dan wayang wahyu.
  3. Seni tari terdiri dari tari srimpi, bedayan, golek, wireng, dan tari pethilan.
Seni gamelan Jawa tidak hanya dimainkan untuk mengiringi seni suara, seni tari, dan atraksi wayang. Saat diadakan acara resmi kerajaan di keraton, digunakan alunan musik gamelan sebagai pengiring. Terutama, jika ada anggota keraton yang melangsungkan pernikahan tradisi Jawa. Masyarakat Jawa pun menggunakan alunan musik gamelan ketika mengadakan resepsi pernikahan.




Bagian Alat Musik Gamelan
1. Kendhang:
Terbuat dari kulit hewan (Sapi atau kambing)
 Kendhang berfungsi utama untuk mengatur irama. Kendhang ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Jenis kendhang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendhang gedhe biasa disebut kendhang kalih.
Kendhang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung.  Untuk bermain kendhang, dibutuhkan orang yang sangat mendalami budaya Jawa dan dimainkan dengan perasaan naluri si pemain, tentu saja dengan aturan-aturan yang ada.
2. Demung, Saron, dan Peking
Alat ini  berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf ) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator.
Instrumen mi ditabuh dengan tabuh dibuat dari kayu.
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis saran:
- demung (Paling besar),
- saron (Sedang) dan,
- peking(Paling kecil).
·         DEMUNG
Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah. Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas.Umumnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung.Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.
·         SARON
Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi. Seperti demung, saron barung memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua saron, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dan dua saron.
·         PEKING
Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi. Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.
3. Gong dan Kempul
Gong menandai permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang. Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu, sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan.
Ada dua macam gong:
- gong ageng (besar) dan
- gong suwukan atau gong siyem yang berukuran sedang.
Gong gantung berukuran kecil. Kempul menandai aksen-aksen penting dalam kalimat lagu gendhing. Dalam hubungannya dengan lagu gendhing, kempul bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan, kadang-kadang kempul mendahului nada balungan berikutnya.
4. Bonang
Bonang dibagi menjadi dua jenis, yaitu bonang barung dan bonang panerus. Perbedaannya pada besar dan kecilnya saja, dan juga pada cara memainkan iramanya. Bonang barung berukuran besar, beroktaf tengah sampai tinggi, adalah salah satu dari instrumen-instrumen pemuka dalam ansambel. Khususnya dalam teknik tabuhan pipilan, pola-pola nada yang selalu mengantisipasi nada-nada yang akan datang dapat menuntun lagu instrumen-instrumen lainnya. Pada jenis gendhing bonang, bonang barung memainkan pembuka gendhing dan menuntun alur lagu gendhing.
Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, bonang barung tidak berfungsi sebagai lagu penuntun; ia membentuk pola-pola lagu jalin-menjalin dengan bonang panerus, dan pada aksen aksen penting bonang boleh membuat sekaran (lagu-lagu hiasan), biasanya di akhiran kalimat lagu.
Bonang panerus adalah bonang  yang kecil, beroktaf tinggi. Pada teknik tabuhan pipilan, irama bonang panerus memiliki kecepatan dalam bermain dua kali lipat dari pada bonang barung. Walaupun mengantisipasi nada-nada balungan, bonang panerus tidak berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan ketinggian wilayah nadanya.
Dalam teknik tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung, bonang panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.
5. Slenthem
Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender; malahan kadang-kadang ia dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron;
Slenthem beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron. Seperti demung dan saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
6. Kethuk dan Kenong
Kenong merupakan satu set instrumen jenis mirip gong berposisi horisontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Dalam memberi batasan struktur suatu gendhing, kenong adalah instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong. Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing; ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan; ia boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing; atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa pathet. Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.

Kethuk sama dengan kenong, fungsinya juga sama dengan kenong. Kethuk dan kenong selalu bermain jalin-menjalin, perbedaannya pada irama bermainnya saja.

7. Gender
Instrumen terdiri dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator. Gender ini dimainkan dengan tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek. Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender:
- gender barung dan
- gender panerus.
8.  Gambang
Instrumen dibuat dari bilah–bilah kayu dibingkai pada gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator. Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih. Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu. Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg.
Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu dengan ritme – ritme sinkopasi.
9. Rebab
Instrumen kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi.
Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih. Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan. Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing. Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.
10. Siter
Siter merupakan bagian ricikan gamelan yang sumber bunyinya adalah string (kawat) yang teknik menabuhnya dengan cara di petik. Jenis instrumen ini di lihat dari bentuk dan warna bunyinya ada tiga macam, yaitu siter, siter penerus (ukurannya lebih kecil dari pada siter), dan clempung (ukurannya lebih besar dari pada siter). Dalam sajian karawitan klenengan atau konser dan iringan wayang fungsi siter sebagai pangrengga lagu.
11. Suling
Jenis instrumen gamelan lainnya yang juga berfungsi sebagai pangrengga lagu adalah suling. Instrumen ini terbuat dari bambu wuluh atau paralon yang diberi lubang sebagai penentu nada atau laras. Pada salah satu ujungnya yaitu bagian yang di tiup yang melekat di bibir diberi lapisan tutup dinamakan jamangan yang berfungsi untuk mengalirkan udara sehingga menimbulkan getaran udara yang menimbulkan bunyi atau suara Adapun teknik membunyikannya dengan cara di tiup. Di dalam tradisi karawitan, suling ada dua jenis, yaitu bentuk suling yang berlaras Slendro memiliki lubang empat yang hampir sama jaraknya, sedangkan yang berlaras Pelog dengan lubang lima dengan jarak yang berbeda. Ada pula suling dengan lubang berjumlah enam yang bisa digunakan untuk laras Pelog dan Slendro. Untuk suling laras Slendro dalam karawitan Jawatimuran apabila empat lubang di tutup semua dan di tiup dengan tekanan sedang nada yang dihasilkan adalah laras lu (3), sedangkan pada karawitan Jawa tengahan lazim dengan laras ro (2).

Sumber:  http://yudhipri.wordpress.com/2010/06/15/bagian-alat-musik-gamelan/



Bathik
Bathik yaiku kasil kerajinan tèkstil ingkang ngginaaken malam (lilin) lan canthing kanggo mènèhi motif utawa gambar ing kain. Bathik wis suwé ana, kurang luwih kawit 2000 taun kepungkur. Asal tembung bathik yaiku “ambathik” saka tembung amba lan titik (basa Jawa) sing maknané: nggambar utawa nulis. Werna-werna utama bathik Jawa yaiku werna biru nila lan soklat. Celupan biru lan soklat sing digabung kain putih iku dadi perlambang 3 déwa Hindhu (Siwa, Wisnu, lan Brahma).
Seni gawé kelir ing kain kanthi migunakaké malam iku sawijining tèknik lawas saka jaman kuna. Panemon ing Mesir nuduhaké yèn cara iki wis ditemokaké ing abad ka-4 SM, kanthi ditemokaké kain bungkus mumi sing dilapisi malam kanggo gawé pola. Ing Asia, tèknik kaya bathik uga ditrapaké ing Tiongkok jaman Wangsa Tang (618-907) sarta ing India lan Jepang jaman Periodhe Nara (645-794). Ing Afrika, tèknik kaya bathik ditepungi Suku Yoruba ing Nigeria, sarta Suku Soninke lan Wolof ing Senegal.
a.  Sejarah Bathik
            Ing Indonésia, bathik dipercaya wis ana wiwit jaman Majapahit, lan dadi populèr nalika pungkasané abad XVIII utawa wiwitané abad XIX. Bathik kang diasilké yaiku kabèh bathik tulis nganti wiwitané abad XX lan bathik cap nembé ditepungi sakwisé ana Perang Donya I utawa taun 1920-an.[2] Tembung "bathik" asalé saka basa Jawa, nanging bathik ana ing Jawa ora kacathet sajarah metuné. G.P. Rouffaer duwé pandhapat yèn tèknik bathik iki dimungkinaké ana lan ditepungaké saka India utawa Srilangka nalika abad kaping 6 utawa kaping 7. Sakliyané iku, J.L.A. Brandes (arkéolog saka Walanda) lan F.A. Sutjipto (arkéolog saka Indonésia) duwé kapercayan yèn tradhisi bathik yaiku asli saka dhaérah kaya Toraja, Flores, Halmahera, lan Papua. Wilayah-wilayah mau dudu wilayah kang kena pangaruh saka Hindhuisme ananging bisa dingertèni yèn wilayah mau duwé tradhisi kuna kanggo gawé bathik.
            G.P. Rouffaer uga nglapuraké yèn pola gringsing wis ditepungi wiwit abad kaping 12 ing Kediri, Jawa Wétan. Dhèwèké uga nyimpulaké yèn pola kaya mau iku mung bisa digawé nganggo wewujududan kang jenengé canthing, mula dhèwèké banjur duwé pendhapat yèn canthing ditemokaké ing Jawa ana ing jaman semono.[3] Dhetil ukiran kain kang mèh kaya pola bathik dianggo déning Prajnaparamita, yaiku ana ing reca dèwi kawicaksanan buddhis saka Jawa Wétan abad kaping 13.
            Dhetil klambi kang nampilaké pola sulur wit-witan lan kembang-kembang kang angèl mèh kaya pola bathik tradhisional Jawa kang bisa ditemokaké jaman saiki. Iki nudhuhaké yèn gawé pola bathik paling angèl lan mung bisa digawé nganggo canthing wis ana ing Jawa wiwit abad kaping 13 utawa malah sadurungé kuwi uga wis ana.
            Legendha ana ing literatur Melayu abad kaping 17, Sulalatus Salatin nyritakaké Laksamana Hang Nadim kang diwènèhi préntah déning Sultan Mahmud kanggo berlayar menyang India kanggo golèk 140 lembar kain serasah kanthi pola 40 jinis kembang ana ing saben lembaré. Merga ora bisa netepi wajib kang diwènèhké Sultan Mahmud, dhèwèké banjur gawé dhéwé kain-kain mau. Nanging kapal kang dinggo banjur kèrem ana ing lelaku bali lan mung bisa nggawa patang lembar kang ndadèkaké Sultan kuciwa.[4]
            Ana ing literatur Éropah, tèknik bathik iki pisanan dicritaké ana ing buku History of Java (London, 1817) tulisané Sir Thomas Stamford Raffles. Dhèwèké tau dadi Gubernur Inggris ing tlath Jawa nalika jaman Napoleon saka Walanda. Taun 1873 saudagar Walanda Van Rijekevorsel mènèhi saklembar bathik kang olèh nalika ana ing Indonésia marang Museum Etnik ing Rotterdam lan wiwitané abad kaping 19 kuwi bathik wiwit ana ing mangsa kajayané. Nalika dipamèraké ana ing Exposition Universelle ing Paris taun 1900, bathik Indonésia ngagètaké publik lan seniman.
b.  Piranti kanggo gawé bathik
Piranti kanggo gawé bathik ing Muséum Nasional Indonesia. Saka ndhuwur tengah: canthing, saka kiwa nengen: sikat kayu kanthi rambut serat klapa, kaliper wesi kanggo ngukur, uga kaliper, panjepit, palu, lan file.
c.   Cara gawé bathik
Awalé bathik digawé ing sandhuwuré bahan kanthi werna putih sing kagawé saka kapas sing diarani kain mori. Diwasa iki bathik uga digawé ing sandhuwuré bahan liya kayata sutra, poliester, rayon lan bahan sintetis liyané. Motif bathik dibentuk nganggo cuwéran lilin kanthi migunakaké alat sing diarani canthing kanggo motif alus, utawa kuwas kanggo motif mawa ukuran gedhé, saéngga cuwéran lilin mresep jroning serat kain. Kain sing wis dilukis nganggo lilin banjur dicelup kanthi werna sing dikarepaké, biasané diwiwiti saka werna-werna enom. Panyelupan banjur dilakokaké kanggo motif liya kanthi werna luwih tuwa utawa peteng. Sawisé makaping-kaping ngliwati prosès pawernan, kain sing wis dibathik dicelupaké menyang bahan kimia kanggo nglarutaké lilin.



Jinising bathik miturut tèknik:


  • Bathik tulis yaiku kain kang dihias kanthi tèkstur lan corak bathik digawé nganggo tangan. Cara nggawé bathik iki kira-kira mbutuhaké wektu antarané 2 nganti 3 sasi.
  • Bathik cap yaiku kain kang dihias kanthi tèkstur lan corak bathik kang dibentuk nganggo cap (biasané digawé saka tembaga). Prosès kanggo gawé bathik cap iku kira-kira mbutuhaké wektu 2-3 dina.
  • Bathik lukis yaiku bathik kang digawé kanthi cara nglukis langsung ana ing kain putih.


Omah Joglo
Joglo yaiku salah siji wangun omah tradisional ing Jawa Tengah. Saliyané joglo ing Jawa Tengah uga ana wangun omah limas. Omah Joglo duwèni ciri kang khas yaiku payone kang dhuwur. Ing jaman saiki wis arang banget ditemokaké omah wangun joglo. Omah joglo kagolong kuna ing jaman saiki. Biasané omah joglo iku ana gebyogé kanggo pepaès. Omah Joglo dumadi saka rong pérangan utama yakuwi Pendhapa lan dalem. Bagéan pendhapa arupa bagéan ngarep sing nduwèni ruangan jembar tanpa sekat-sekat, biasané dipigunakaké kanggo nampa tamu utawa ruang dolanan bocah-bocah lan papan kanggo santai kulawarga. Bagéan dalem minangka bagéan jero omah arupa ruangan kamar lan ruangan liya sing sipaté luwih pribadi. Ciri-ciri bangunan joglo yakuwi bagéan payon pendhapané dhuwur kaya gunung.
Jenis Variasi Bangunan Joglo:
  1. Joglo limasan lawakan utawa “joglo lawakan”.
  2. Joglo Sinom
  3. Joglo Jompongan
  4. Joglo Pangrawit
  5. Joglo Mangkurat
  6. Joglo Hageng
  7. Joglo Semar Tinandhu
Peranganing omah joglo yaiku pendhapa nduweni fungsi kanggo nerima tamu-tamu agung, pertemuan-pertemuan resmi, kanggo pagelaran kesenian uga upacara adat. Pendhapa umume dibangun nganggo gaya arsitektur joglo trajumas. Filosofi o pendhapa iku ngandung makna sifat pradah, sifat iki antarane lapang dada, ramah tamah lan pemurah, uga mesthi isa lan siap nerima tamu. Makna liyane saka bangunan iki yaiku momot utawa sanggup nampung apa wae uga termasuk sanggup nampung lan ngatasi kabeh masalah sing timbul.

mah joglo mligine


 


Bedhaya
Bedhaya inggih punika tari utawi beksa ingkang dipun tarèkaken déning kenya cacah sanga. Bedhaya saking tembung ambedhaya ateges nari. Beksan Bedhaya inggih punika salah satunggaling beksa ingkang asipat sakral dipunripta déning Panembahan Sénopati kaliyan Kanjeng Ratu Kidul. Rikala jaman semanten tari bedhaya punika namung dipun pagelaraken wonten lingkungan kraton kémawon lan tiyang Jawi kraton mboten saged midhangetaken, awit tari bedhaya punika kagolong tari ningrat lan sakral. Tari bedhaya dipunsebat tari sakral amargi tari menika ngandhut suraos falsafah tiyang gesang ingkang agung, khususipun kagem tiyang Jawi.
Tembung bedhaya punika kapendhet saking basa Sanskerta, inggih punika budha ingkang gadhah makna awal, wiwitan utawi suci. Wonten ing salebeting tari bedhaya punika kedah tiyang pinilih ingkang saged narèkaken. Tiyang punika kedah kenya ingkang taksih prawan ingkang dèrèng nggarap sari (haid) lan saged nglampahi sarat-sarat lelampah ingkang dipun wajibaken sakdèrèngipun mbeksa, inggih punika lelampah spiritual kebatinan, pasa, lan dipun pingit wonten panggènan mligi supados para paraga tari punika siap lair batin lan kadhidhik méntal ugi kapribadhènipun.
Rikala jaman semanten para paraga tari bedhaya punika inggih saged ugi para tiyang jaler utawi tiyang kakung kang taksih anèm lan nggadahi wiraga kadhos tiyang putri, alus lan subasita. Tari ingkang dipun bektakaken lajeng kasebat tari bedhaya kakung utawi bedhaya jaler alasanipun tari punika dipun bektakaken kaliyan tiyang kakung amargi tiyang putri wonten alanganipun inggih punika haids lan jaman semanten tiyang putri mboten angsal campur dados setunggal yèn dèrèng palakrama. Kejawi saking punika, tari bedhaya dipuntarèkaken ing wekdal ingkang dangu. Manawi tenaganipun mboten saé saged andadosaken gerah utawi lungkrah. Wekdal ingkang dipunginakaken rikala jaman semanten saged ngantos setunggal setengah jam. Pramila saking punika penarinipun kedah pilihan.
Para paraga utawi penari cacah sanga punika wau ngandhut suraos piyambak-piyambak, inggih punika Batak, gulu, jaja, hendel, apit ngajeng, apit winking, wedhalan ngajeng, wedhalan wingking lan buncit. Setunggal lan setunggalanipun mawa makna lan filosofi ingkang bènten-bènten.
Werni-werni Bedhaya
  • Bedhaya Ketawang, dhurasi tarian watawis 130 menit
  • Bedhaya Pangkur, dhurasi tarian watawis 60 menit
  • Bedhaya Duradasih, dhurasi tarian watawis 60 menit
  • Bedhaya Mangunkarya, dhurasi tarian watawis 60 menit
  • Bedhaya Sinom, dhurasi tarian watawis 60 menit
  • Bedhaya Endhol-endhol, dhurasi tarian watawis 60 menit
  • Bedhaya Gandrungmanis, dhurasi tarian watawis 60 menit
  • Bedhaya Kabor, dhurasi tarian watawsis 60 menit
  • Bedhaya Tejanata, dhurasi tarian watawis 60 menit
Sumber:
http://jv.wikipedia.org/wiki/Bedhaya



Wayang

Wayang dumadi saking tembung wod "yang/ hyang" angsal ater- ater wa-. Tegesipun roh ingkang dipepundhinamargi pinercaya roh saged damel beja cilakanipun manungsa. Wayang punika wewayangan utawi gegambaran watak lan jiwanipun manungsa. Wayang mujudaken pangejawantahan pribadi manungsa. Wayang punika pagelaran nganggo bonéka kang umumé katon éndah ing wewayangané lan dilakokaké déning dhalang kanthi iringan gamelan. Bonéka kasebut bisa kang wujud 2 dhimensi utawa wujude 3 dhimensi. Kang wujud 2 dhimensi umume, kagawé saka kulit (walulang), kang biyasané kulit sapi, utawi wedhus. Lan kang wujud 3 dhimensi, lumrah digawé saka kayu kang direnggani penganggo saka kain kang manéka warna adhedhasar karakter wayang kasebut. Nanging ing sawatara tlatah, uga ana kang gawé wayang saka suket, lan kerdhus, ananging wayang jinis ngéné iki ora patia akèh ditemoni. Manut ing kemajuane jaman, wus tinatah lan sinungging wayang kanthi ngginakaken media digital kanthi piranti empuk pangolah citra. Wayang kang tinatah lan sinungging kanthi media digital kasebat e-wayang.
Crita kang dilakonaké dijupuk saka épos Mahabharata lan Ramayana kang uga sinebut Wayang Purwa. Uga ana kang nggelar lakon crita-crita 1001 wengi saka tanah Arab. Wayang kang kaya ngéné iki diarani Wayang Menak. Pagelaran iki misuwur ing tanah Jawa.
Wayang iki ora mung sumebar ing Jawa waé, nanging uga ing tlatah liya ing Nuswantara. Pagelaran wayang wis diakoni déning UNESCO ing tanggal 7 November 2003, dadi karya kabudayan kang édi péni ing babagan crita dongéng lan warisan sing berharga banget (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Suwaliké, UNESCO nyuwun supaya Indonesia njaga (preserve) warisan kuwi.

a.     Sajarah
Para ahli durung ana kang bisa masthèkaké kapan wayang wiwit ana ing Indonésia. Nanging yèn ndeleng prasasti lan tinggalan jaman kepungkur, wayang kira-kira wis ana sadurungé agama Hindu mlebu. Nalika kuwi lakon wayang durung nganggo crita-crita kang dijupuk saka India. Pagelaran iki dienggo sarana nyembah marang roh leluhur.
Sawetara anggitan sastra jaman Mataram anyar akèh kang nulis perkara sajarah wayang. Nanging, para ahli sajarah ora sarujuk marang apa kang tinulis ing kono amarga ora cocok marang cathetan lan tinggalan sajarah kang wis ana.
Prasasti paling kuno ana ing abad kaping IV Masehi. Prasasti ngemot ukara mawayang kanggo pagelaran pahargyan sima utawa bumi perdhikan. Katrangan kang luwih trewaca ing prasasti Balitung, udakara 907 Masehi. Ing kono tinulis si galigi mawayang bwat Hyang macarita bimma ya kumara. Artiné kira-kira: Si Galigi ndhalang kanggo Hyang kanthi lakon Bimma Sang Kumara."
Agama Hindu kang mlebu ing Nusantara gawé crita wayang béda karo asliné. Crita Ramayana lan Mahabharata wiwit dienggo kanggo dakwah agama. Ing panguwasaning Dharmawangsa Teguh (991-1016), akèh crita saka India kang mlebu lan digawé gagrag jawané. Wayang wiwit nyebar ing ngendi-ngendi nalika Majapahit nguwasani Nusantara.
Crita-crita kang asliné saka India iku pungkasané wis geseh karo sadurunge. Para pujangga Jawa gawé crita dhéwé kanggo mepaki apa kang wis ana. Ing Pedhalangan, crita-crita iki sinebut lakon carangan.
Jaman Islam mlebu, Walisanga uga nganggo wayang ing panyebarané. Ing jaman iki wiwit ana Wayang Menak. Gagrag-gagrag tambah akèh ngepasi Mataram anyar. Walanda kang digdaya gawé kraton Surakarta ngracik akèh crita wayang kanggo nglelipur ati.
Indonésia merdika uga nyumbang gagrag wayang kang manéka warna. Manéka warna wayang mau ana kang tetep digelar ana kang mung urip ing jamané dhéwé. Wayang kang paling akèh dienggo yaiku wayang kulit purwa.

b.    Sebutane Wayang
Yèn dijupuk saka ukarané, wayang kuwi saka wewayangan, amarga pagelarané ana ing wayah wengi lan nganggo lampu. Nanging katrangan iki wis ora bisa diugemi manèh. Wayang dadi ora mligi bonéka kang ana wewayangané. Wayang golèk kang digawé saka kayu ora ngandhelaké wewayangan. Ukara wayang wis dadi pagelaran bonéka kang digelar déning dhalang. Umumé, sebutan wayang tinuju marang wayang kulit purwa. Wayang iki digawé saka tatahan kulit kèwan kanti lakon seka Mahabharata lan Ramayana.

c.      Wayang ing tanah Jawa

1.      Wayang Bèbèr yaiku wayang kang digawè saka kain utawa kulit lembu kang awujud bèbèran (lembaran). Saben bèbèran kuwi nggambarakè sakadegan crita. Yen wis rampung dilakonkè, bèbèrane digulung manèh. Wayang iki digawè jaman krajaan Majapait. Wayang iki asalè saka Pacitan lan Gunung Kidul. Wayang iki digawè kanthi kuwat ing bab rong dimensinè kanthi seni lukis ing kanvas. Wong-wong kang nglèstarèkakè wayang iki yaiku: Musyafiq kanthi gawè wayang bèbèr kang narasinè paraga-paraga wayang, Suhartono kanthi luwih nyiptakake figur wayang kang corakè dèkoratif lan ornamèntik, Agus Nuryanto gawè wayang bèbèr kanthi saka wujud wayang purwa banjur diabstraksi saka rèalitas uripè manungsa ing saben dinanè.
2.      Wayang Kulit
3.      Wayang klithik
4.      Wayang Golèk uga akèh wong sing arani wayang tengul. Wayang iki digawè saka kayu lan diklabèni kayata manungsa. Sumbering crita kajupuk saka Sejarah kayata crita Untung Suropati, Batavia, Sultan Agung, Banten, Trunajaya, lsp. Crita wayang iki uga bisa kajupuk saka dongéng nègara Arab. Yèn pèntas kang dadi ciri khasè wayang golék yaiku ora nganggo kelir utawa layar kayata wayang kulit.
5.      Wayang Gedhog:Wayang iki wujudè mèh padha karo wayang kulit. Kang digawè kurang luwih taun 1400-an. Sumbèring crita saka crita raja ing Jawa, antaranè Banten, Singasari, Mataram, Kediri, lsp. Wayang iki mung bisa ditemokakè ana musèum.
6.      Wayang Menak yaiku wayang saka kayu kang digawe persis (kawangun) wong. Critanè yaiku babagan dakwah Islam kayata: Wong Agung Jayengrana, Imaryana, lan Umarpadi.
7.      Wayang Kancil:Wayang iki uga diarai '''wayang Dupara'''. Wayang sing digawe saka lulang. Crita serine Kancil.
8.      Wayang Wahyu: uga kasebut '''wayang bibel''' iki diciptakè dèning Bruder Tèmothèos kanggo nyiarkè agama Kristen.
9.      Wayang Pancasila.
11.  Wayang Jemblung:Wayang saka kayu kang digawe persis (kawangun) wong. Wayang iki sumebar ana ing daerah pesisir lor, Blora, lan Cepu. Critanè babagan Cacad kaya kethoprak.
12.  Wayang wong:Wayang wong yaiku wayang kang diparagakè wong kang ana gerakan tarinè. Sumbering crita saka Ramayana lan Mahabarata. Paguyuban kang misuwur kanthi pagelaran wayang iki yaiku Ngèsthi Pandawa (Semarang), Sriwedari (Surakarta).
17.  Wayang Potèhi:Wayang kang awujud bonèka cilik-cilik. Critanè mangsa jaman kraton Tar-Tar utawa Babad Cina. Thio Tiong Giè yaiku salah sijining dhalang wayang potèhi ing Semarang Tengah kang manggon ing Dèsa Pesantrèn, Kelurahan Purwodinatan. Dhèwèkè nduwèni prinsip paribasan Cina Tiongkok kang dadi semangate kanggo nglestarekake Wayang potèhi iki yaiku:”TAK ada kuda, sapi pun bisa ditunggangi.” Yen ta wayangan dhèwèkè nggunakakè basa Indonèsia kanggo basa pengantar, bèda karo para sesepuhè sing biyèn nggonakakè basa Cina. Ciri khasè dhewèkè uga kerep nggunakakè tembang campursari. Thio Tiong Gie saiki umurè wis 76 taun, akeh prihatinè mikirakè kabudayanè sing mung didelok dèning saglintir wong sing kalah adoh yèn dibandingakè karo jaman biyèn. Langka banget sing kepèngin nyinaoni wayang iki sing dadi generasinè mung siji ntok wongè yaiku Oei Tjiang Hwat sing kerep ngancani yèn ta wayangan.[6] Para niyaganè adoh banget yaiku saka Surabaya
Dhèwèkè menehi tuturan "Yèn ta diwènèhi panjang umurè nganti 100 taun, dhèwèkè bakal terus ndhalang, sabab ing njero wayangan kang lumrahè digawè dadi panglipur lara iku ana ajaran-ajaran, pepèling-pèling kang manfaati tumrap uripè manungsa."
Wayang kang digawè saka dluwang kang digambari wayang awujud kèwan-kèwan. Wayang iki nyitakake babagan donyanè kèwan kang dadi sarana reflèksi saka donyanè manungsa. Ana wayang iki disarujuki ora ana sing dadi dhalang kang lumrahè tunggal dadi sakabèhing paraga ana wayang, banjur sapa waè bisa dadi dhalang, kang bisa prasaja gunemanè.
Sumber:


Wayang kulit
Wayang Kulit iku salah sawijining pagelaran wayang ingkang mbabaraké lakon mahabharata utawa ramayana sing wayangé digawé saka kulit. Jinising wayang iki kang paling disenengi ing Tanah Jawa. Wayang iki digawé saka kulit kang ditatah lan diéntha kaya déné manungsa. Umumé wayang kulit nglakonaké lakon Wayang Purwa, nanging ana uga kang nganggo Crita Menak lan Babad Tanah Jawa, crita agama (Kristen, Buddha), perjuwangan, lan manéka warna crita liyané.
Wayang kulit dilakokaké ing layar putih kang sinebut kelir. Déné wayang-wayang kuwi ditancepaké ing debog ana ing sisih tengen lan kiwané dhalang. Gamelan kang ana ing sisih mburi ngiringi pagelaran iki. Pagelaran wayang wis diakoni déning UNESCO ing tanggal 7 November 2003, dadi karya kabudayan kang édi péni ing babagan crita dongéng lan warisan kang berharga banget (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Suwaliké, UNESCO nyuwun supaya Indonesia njaga (preserve) warisan kuwi.[1]
·        Panyebaran
Wayang iki ora mung sumebar ing Jawa waé, nanging uga ing tlatah liya ing Nuswantara. Wayang kulit sumebar ing tanah Jawa lan uga pérangan liya ing Nusantara, nanging wayang iki luwih disenengi dening wong Jawa Tengah lan saperangan Jawa Wétan. Ing antarané panggonan siji lan liyané duwé gagrag dhéwé-dhéwé, sing paling gedhé yaiku Gagrag Ngayogyakarta lan Gagrag Surakarta. Gagrag Banyumas lan Gagrag Pesisiran uga kondhang ing tlatahé dhéwé.
Ing jaman saiki, pagelaran wayang antuk owah-owahan. Campursari lan dhagelan mlebu ing antarané pagelaran mau. Amarga wayang uga wis mlebu dadi acara televisi, suwéné pagelaran kang asliné sewengi bisa dikurangi dadi sawetara jam waé. Wayang kulit uga asring sinebut wayang purwa. Sumber caritané yaiku saka kitab Mahabharata lan Ramayana kang ditulis déning Mpu Sedah, Mpu Panuluh, lan Mpu Kanwa.
·        Panggawéné wayang
Wayang kulit umumé digawé saka bahan kulit kebo sing wis diprosès dadi kulit lembaran, saben siji paraga wayang mbutuhaké watara ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran sing banjur ditatah nganggo piranti arupa wesi lancip. Wesi waja iki digawé luqih dhisik kanthi manéka wangun lan ukuran, ana sing lancip, pipih, cilik, gedhé lan wangunliyané sing nduwèni fungsi béda-béda.
Wosé piranti mau kanggo gawé manéka bolongan ukiran ana ing lembaran wayang. Sabanjuré dipasang pérangan awak liyané ya iku tangan. Tangan wayang dumadi saka rong pérangan ya iku lengen dhuwur lan ngisor, saéngga tangan bisa diobahaké niru obahing tangan manungsa. Gagang wayang digawé saka bahan sungu kebo utawa sapi. Tangan wayang uga diwènèhi gagang supaya dhalang bisa ngobahaké tangan wayang kasebut.
·        Karakteristik paraga wayang
Wangun irung:
1. Irung Walimiring: Katon kaya piso blathi cilik, kanggo nuduhaké alusing watak lan kabangsawanan, tuladha: Arjuna, Samba, Kresna.
2. Irung Pelokan: Kaya wangun separo who pelem, nuduhaké pepadhan karo watak raseksa kasar lan kuwat. Tuladha: Buta Rotor, Bragolba, lan paraga buta liyané.
3.      Irung Pagotan: kanthi cangkem gusèn, nuduhaké watak galak lan kejem. Tuladha: Radèn Indrajit, Radèn Kangsa.
4.      Irung Bentulan: Nuduhaké keprajuritan. Tuladha: Gatotkaca, Gandamana, Bratasena.
  1. Irung Bruton: Nuduhaké sipat lucu, tuladha:Bagong.
  2. Irung Sumpel: Nuduhaké sipat lucu, tuladha:Semar lan Limbuk.
  3. Irung Térong: Nuduhaké sipat bisa narik kawigatèn, kaya pelawak. Tuladha: Garèng.
  4. Irung Cempaluk: Nuduhaké sipat konyol kaya badhut. Tuladha:Pétruk.
  5. Irung Pèsèkan: Nuduhaké lucu. Tuladha: Togog, Mbilung, Wanara.
Lambé lan garis cangkem
  • Cangkem Domis: Wangun cangkem satriya, nuduhaké kaélokan lan watak sènsitif
  • Cangkem Gusèn: Nggambaraké watak sok sarwa weruh, tanggung. Conto:Patih Sengkuni lan Kartamarma
  • Cangem Ngablak: Kabuka lan katon gusiné. Nggambaraké watak raseksa. Conto: Boma, Durmagati
Tlapukan
  • Mata Gabahan: Awangun wulir beras. Matané para ksatriya.
  • Mata Kedhelèn: Awangun wiji kacang, mata tokoh kaya Baladéwa, Setyaki.
  • Mata kedhondhongan: Awangun wiji kedhondhong, mata Patih Sengkuni lan Kartamarma.
  • Mata Pelengan: Nggambaraké karakter kejem, Indrajid lan Kangsa.
  • Mata Penanggal 1: Awangun wulan tanggal sepisan, nggambaraké watak sing ora bisa dipercaya. Tuladha: Cakil lan Pendhita Durna.
  • Mata Kolikan: Nggambaraké watak lucu kaya Semar.
  • Mata Plolo: Nggambaraké watak bodho lan gampang dibodhoni. Tuladha: Bagong lan Togog.
Uba Rampé pakeliran
Pakeliran utawa pagelaran wayang kulit merlokaké piranti ya iku antara liya:
Cempala
:
thuthukan dhalang kanggo ngiringi antawacana lan omongan ing lakon.
:
layar putih kang dibèbèr kanggo mainaké wayang.
Bléncong
:
Senthir kanggo gawé wewayangan, ing jaman saiki ana kalané senthir disulih nganggo petromax utawa lampu listrik.
Kepyak
:
digawé seka kuningan kanggo iringané dhalang.
Kothak
:
wadhah wayang lan kanggo dithuthuk Cempala
Gedebog/debog
:
kanggo tancepan wayang.
:
kanggo ngiringi pagelaran.
Simpingan
Akehe wayang ing kothak ora padha ing antarane dhalang siji lan liyane. Ana kang kurang saka 180, ana uga kang nganti 400 wayang. Wayang mau ana kang ditata ing pakeliran sisih tengen lan kiwa, ana uga kang ing njero kothak.
Simpingan Kiwa
Ing antarané kang ditata ana ing sisih kiwa yaiku:
Simpingan Tengen
Kang ditata ing sisih tengen diwiwiti saka wayang Brahala/Dewa Amral/Dewa Mambang dipungkasi nganggo wayang bayen.
Wayang Dhudahan
Wayang dhudahan yaiku wayang kang ora melu disimping nanging mung disimpen ana sajroning kothak. Biasane wayang dhudahan kuwi klebu wayang kang kerap dilakokake dening Ki Dhalang. Contone wayang dhudahan :
1. Dhudahan Kurawa
2. Dhudahan Pandhita lan Dewa
3.Dhudahan Raseksa (buta) Prepat
4. Dhudahan Panakawan
5. Dhudahan Keparak
6. Dhudahan Prajurit
  • Patih Udawa
  • Druwajaya
  • Pragota
  • Prabawa
  • Patih Tuhayata
  • Patih Saragupita
  • Patih Adimanggala
  • Patih Sabrangan
  • Ampyak/Prampogan
  • Wisata lan Wilmuka
  • Demang Sarapadha/Cekruktuna
  • Wadyabala Buta Pringgodani (Kalabendana, lsp)
  • Wadyabala Buta Ngalengka (Anggisrana,Yuyu Rumpung, Wil Kathaksini lsp)
  • Wadyabala Buta Kajiman/Bajulbarat
  • Wayang Setanan
  • Prajurit Kethek Tambak
7. Dhudahan Wanara
  • Anila
  • Anggada
  • Jembawan
  • Trigangga/Triyangga
  • Kapi Anggeni
  • Kapi Indrajanu
  • Kapi Suwida
  • Kapi Pramujabahu
  • Kapi Kingkin
  • Kapi Warjita/Cacingkanil
  • Kapi Janulen
  • Kapi Menda
  • Kapi Cucak Rawun
  • Kapi Saraba
8. Dhudahan Sato Kewan
  • Gajah(Liman/Dwipangga/Diradha/Matengga.)
  • Banteng (Andhaka)
  • Macam (Simo/Sardhula)
  • Ula (Sarpa/Taksaka)
  • Celeng (wraha)
  • Garudha
  • Kidhang
  • Landhak
  • Jaran (Kudha)
9. Dhudahan Pusaka
  • Kreta Kencana
  • Maneka warna gegaman (Gadha, keris, jemparing, lsp)
Sumber:






Tidak ada komentar:

Posting Komentar