Berbicara tentang sastra jawa, kita tidak bisa
terlepas dari seluk beluk tentangnya yang meliputi era sastra jawa, hasil karya
sastra, dan para pengarangnya.
Pengertian dan Hakikat Sastra Jawa
Pengertian dan Hakikat Sastra Jawa
Sastra menurut bahasa Sansekerta (Ḉastra) yang
artinya tulis. Secara istilah sastra Jawa adalah segala bentuk pemikiran yang
dicurahkan dalam bentuk tulisan sebagai medianya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu karya akan bernilai karya sastra jika sudah
ditulis dan dibukukan. Hal ini disampaikan oleh Suparta Brata.
Wujud sastra Jawa, dibedakan menjadi dua:
1. Prosa
(gancaran), contohnya dalam bentuk novel, cerita cekak (cerkak), cerita gambar
(cergam).
2. Puisi
(tembang), contohnya dalam bentuk lirik, geguritan, kidung, kakawin.
Selain itu, karena sastra berbicara tentang manusia
dan kemanusiaan, maka sastra juga memuat seluruh aspek hidup manusia. Oleh
karena itu terdapat berbagai kategori/jenis sastra berdasar pada sejarahnya:
a. Sastra Jawa Kuna
b. Sastra Jawa Tengahan
c. Sastra Jawa Baru
d. Sastra Jawa Modern
DAFTAR PUSTAKA
Suripan Sadi Hutomo. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Zoetmulder, PJ. 1985. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Jambatan.
Zoetmuder, P.J.1985. KALANGWAN: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:Djambatan.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Kuno
a. Sastra Jawa Kuna
b. Sastra Jawa Tengahan
c. Sastra Jawa Baru
d. Sastra Jawa Modern
DAFTAR PUSTAKA
Suripan Sadi Hutomo. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Zoetmulder, PJ. 1985. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Jambatan.
Sastra Jawa Kuna
Sebagian besar Sastra Jawa Kuna berbentuk Kakawin (puisi) yang menggunakan
metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk Parwa (prosa). Bahasa Jawa
Kuna sering disebut sebagai Bahasa Kawi, akan tetapi sebutan Bahasa Kawi bagi
Bahasa Jawa Kuna tidaklah tepat. Bahasa Kawi hanya berarti bahasa para Kawi,
yakni para penulis Kakawin. Akan tetapi Bahasa Jawa kuna tidak hanya digunakan
dalam Kakawin saja, Parwa juga menggunakan Bahasa Jawa Kuna sehingga sebutan
Bahasa Kawi lalu menjadi terlalu sempit. Memang pernah ada penggunaan istilah
Bahasa Parwa, tetapi sebagaimana sebutan Bahasa Kawi, sebutan Bahasa Parwa juga
terlalu sempit, hanya mencakup sebagian saja, tidak mencakup semuanya
seutuhnya.
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar
diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang
berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli
seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan
tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua
dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan
merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah
prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan
naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal
dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat
teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.
Sastra Jawa Kuna hidup pada abad IX- XVII, atau pada masa kejayaan
kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai Majapahit. Karya-karya
sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana,
Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata
dalam bahasa Jawa Kuno. Lebih lengkapnya, karya sasatra Jawa Kuna ini adalah:
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
- Candakarana
- Sang Hyang Kamahayanikan
- Brahmandapurana
- Agastyaparwa
- Uttarakanda
- Adiparwa
- Sabhaparwa
- Wirataparwa, 996
- Udyogaparwa
- Bhismaparwa
- Asramawasanaparwa
- Mosalaparwa
- Prasthanikaparwa
- Swargarohanaparwa
- Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)
- Kakawin Tertua Jawa, 856
- Kakawin Ramayana ~ 870
- Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
- Kakawin Kresnayana
- Kakawin Sumanasantaka
- Kakawin Smaradahana
- Kakawin Bhomakawya
- Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
- Kakawin Hariwangsa
- Kakawin Gatotkacasraya
- Kakawin Wrettasañcaya
- Kakawin Wrettayana
- Kakawin Brahmandapurana
- Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
- Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
- Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
- Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
- Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
- Kakawin Parthayajna
- Kakawin Nitisastra
- Kakawin Nirarthaprakreta
- Kakawin Dharmasunya
- Kakawin Harisraya
- Kakawin Banawa Sekar Tanakung
Zoetmuder, P.J.1985. KALANGWAN: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:Djambatan.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Kuno
Sastra Jawa Tengahan
Bahasa
Jawa Tengahan digunakan sekitar abad XVI, atau pada masa akhir
Majapahit
sampai dengan masuknya Islam ke Jawa. Sama seperti Karya Sastra Jawa
lainnya, Karya Sastra Jawa Tengahan juga beewujud puisi dan prosa. Jika
berbentuk puisi disebut dengan kidung sedangkan jika berbentuk prosa
disebut dengan serat. Hanya saja, di dalam Karya Sastra Jawa pertengahan
sebagian besar berbentuk Kidung (Puisi). Berbeda dengan Kakawin yang
menggunakan metrum
India, Kidung menggunakan metrum Jawa.
Beberapa karya Kidung antara lain:
- Kidung Harsawijaya
- Kidung Ranggalawe
- Kidung Sorandaka
- Kidung Sunda
- Wangbang Wideya
- Sri Tanjung
- Kidung Harsawijaya
- Kidung Ranggalawe
- Kidung Sorandaka
- Kidung Sunda
- Wangbang Wideya
- Sri Tanjung
- Kidung Sudamala
- Kidung Dewa Ruci (Zoetmulder, 1985: 532).
Sedangkan beberapa contoh dari serat antara lain:
- Pararaton
- Tantri Kamandaka
- Korawasarama
- Calon Arang
- Tantu Panggelaran
1. Awal keberadaan Tanah Jawa
2. Penciptaan Manusia
3. Proses terjadinya peradaban manusia
4. Pepalih-pepalih tata aturan tanah Jawa
http://id.wikipedia.org/wiki/Tantu_Panggelaran
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Baru
Sastra Jawa Baru (Klasik)
Penggunaan Bahasa Jawa Baru (Klasik) kurang lebih muncul pada jaman kerajaan Kediri s/d Kerajaan Islam di Jawa, semakin
berkembang saat Kerajaan Demak berkuasa.
Berbeda dengan Sastra Jawa Kuna dan
Sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan sastra lisan, Sastra Jawa Baru masih
meninggalkan sastra dalam bentuk lisan. Sastra Lisan kebanyakan berkembang
dalam tradisi masyarakat lokal bersama folklor setempat. Sastra Lisan ini
sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.
Gaya
bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan.
Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin
dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna.
Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari
lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sastra Jawa Baru sering disebut dengan Karya Sastr Klasik karena
karya-karya pada era ini memiliki ketahanan eksistensi yang kurang dalam
masyarakat, maksutnya karya-karya yang lahir di era ini tidak hilang
namun juga tidak terkenal.
Selama abad XVIII dan XIX dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar,
termasuk di antaranya dua raja Surakarta: PB II dan IV, seorang
pangeran, dan
dua adipati dari Semarang (Margana, 2004: 133). Beberapa pujangga itu
antara
lain:
- Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
- Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
- Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara, seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
- Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
- Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
- Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara, seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
- Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 – 1844)
R.Ng. Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain, yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara. Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat Ramayana.
R.Ng. Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain, yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara. Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat Ramayana.
- Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret 1802 – 23 Desember 1873)
R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
Hasil karya dari Sastra Jawa Baru (Klasik), dibagi seperti berikut:
- Serat Piwulang: sastra yang isinya lebih dominan tentang pelajaran/nasihat/pendidikan, munculnya sekitar jaman Mataram-Keraton Surakarta. Para pujangga berasal dari sastrawan keraton. Hasil Karyanya: Serat Cemporet, Serat Wulangreh, Serat Sunasunu, Serat Tripama, Serat Wedaraga, dan Serat Wulangputri.
- Serat Babad: sastra yang muncul dengan tujuan untuk menceritakan tentang munculnya suatu daerah/tempat. Hasil karyanya: Babad Mangir, Babad Tanah Jawi, dan Babad Demak.
- Sastra Pewayangan: Muncul pada masa Mataram Baru. Hasilnya: Serat Nawaruci, Serat Sudamala, Serat Sri Tanjung, Serat Kandha, Serat Begawan Ciptaning dan Serat Gathutkacawinisuda.
- Sastra Suluk: Suluk Linglung dan Suluk Hidayatjadi.
- Sastra Roman: memiliki dua bentuk yaitu prosa (Ngulandara, Rijanta dan Kinanthi) dan Syair (Centhini dan Safitri).
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa_Baru
Hasil Karya Sastra Modern (pra kemerdekaan)
Karya Sastra Modern dibagi menjadi tiga periode:
Abad 30-an (Zaman Belanda), pada periode ini lebih didominasi oleh karya sastra berbentuk puisi (tembang). Pujangga yang terkenal dalam periode ini yaitu Rongsang Tuban (1913, Surakarta) dan Pustaka Raja Purwa (1913, Surakarta). Hasil Karyanya seperti Serat Pathibasa, Serat Paramayoga, Paramasastra dan Layang Madukara.
Abad 60-an, pada periode ini terjadi perkembangan yang sangat pesat. Banyak pengarang yang memasangkan karya-karyanya di Majalah Jayabaya, Suara Jawa, Sekar Sumawur, Medan Basa Dasa Tawi Kumandhang, Sabda Pepalor, Gumregah Dharma Kandha, Parikesit, Panjebar Semangat dan Joko Lodhang.
Abad 80-an, pada abad ini karya-karya yang dihasilkan lebih kepada karya-pustaka seperti kamus dan lainnya. Pada masa ini tidak banyak ditemukan karya struktural atau klasik dan lebih banyak kepada karya sastra berbentuk prosa. Seperti: Detektif Handoko (Suparto Brata), Bausastra, Ensiklopedi, Naskah Drama dan Silangman.
Geguritan
Geguritan yaiku wohing susastra kang basané cekak, mentes lan éndah.
Geguritan yaiku wohing susastra kang basané cekak, mentes lan éndah.
- Cekak yaiku ora wujud ukara sing nggladrah
- Mentes yaiku tembungé duwé makna kang jero.
- Éndah ngemu purwakanthi swara, sastra utawa basa.
- Tetembungane pilihan
Geguritan asalé saka tembung "gurit", kang ateges kidung utawa tulisan kang awujud tatahan. Satemene yen
dicocogake antarane teges (batasan pengertian) karo kasunyatan wujud utawa
wangune geguritan iku kaya adoh susate. Dadi teges kang wis diandharake iku mau
babar pisan ora cocog karo kahanane geguritan kang ana. Maksude mangkene,
geguritan iku satemene pancen dudu sabangsane tembang utawa kidung. Geguritan iku
babar pisan ora padha karo tembang utawa kdung. Jalaran tembang utawa kidung
iku anggone nyuwarakake nganggo wewaton/ paugeran/ aturan kang wujude titi
laras (notasi). Kamangka geguritan pamacane ora nganggo weewaton titi laras
(notasi). Déné geguritan ing kéné, ateges rumpakan kidung kang mawa paugeran gumathok, yaiku:
- Cacahing gatrané ora tartamtu, nanging apese 4 gatra.
- Saben-saben sagatrané guru wilangan lan guru lagu padha waé, runtut mawa purwakanthi guru swara.
- Lumrahe kabuka utawa kawiwitan srana ukara: "Sun anggegurit".
Geguritan
iku kalebu puisi Jawa modhèrn, amarga ora kaiket ing aturan kayadéné
tembang. Geguritan bisa karipta amarga ana ilham utawa inspirasi
(angen-angen). Geguritan mujudaké karya kang sipaté pribadi, mula
geguritan panganggit siji lan sijiné béda-béda. Angen-angen kang ana
sajroné pikirané pengarang banjur diolah supaya dadi geguritan kaya kang dikarepaké panganggit. Kanthi mengkono, geguritan iku basané katon éndah, bisa migunakaké purwakanthi,
dwipurwa, seselan lan liya-liyané. Geguritan iku duwèni nilai- nilai
utawa amanat kang bisa kapethik kanthi diparafrasakake dhisik.
marafrasakake geguritan iku ateges nganalisis utawa ngudari ukara- ukara
geguritan iku supaya maksudé bisa katangkep. Geguritan iku kawujud saka
téma, pamilihane tembung uga nganggo sarana rétorika lan majas.
Kaendahane geguritan gumantung marang: (1)
pilihan tembung (diksi); (2) lelewaning basa (majas); (3) digunakake ing saben
dina. Geguritan migunakake basa kang ringkes nanging sugih teges. Tembung kang
digunakake yaiku tembung kias (entar) kang akeh penafsirane.
A) Unsur
Geguritan.
1) Struktur
Fisik
a) Pamilihe
tembung (diksi). Tembung ing geguritan asil saka pamilihe tembung kanthi
setiti. Tembung ing geguritan nduweni ateges entar (kias).
b)
Pengimajinasian. Tembung ing geguritan bisa nuwuhake khalayan. Kanthi khayalan
kasebut kang maca lan ngrungokake bisa melu ngrasakake, ngrungokake, lan
ndeleng sawijining bab kang ditulis dening penyair.
c)
Lelewaning basa (Majas) yaiku tembung kang digunakake penyair kanggo
nyaritakake sawijing bab kanthi cara mbandhingake karo barang utawa tembung
liyane.
d)
Purwakanthi (Rima/ritma) yaiku mbaleni swara (vocal), mbaleni tembung, kelompok
tembung (frasa) utawa mbaleni ukara.
2) Struktur
Batin. Struktur batin ing geguritan kaperang dadi papat, yaiku (1) bakuning
gagasan/ tema (sense); (2) pangrasane penyair; (3) nada utawa sikap penyair
marang “pembaca”; (4) amanat/ pesen. Ngenani unsur batin dibahas ing bab
sabanjure.
(Sumber:
Mujiono. Jati Dhiri Basa Jawa. Ponorogo: MGMP Guru.)
Sumber liyane: http://jv.wikipedia.org/wiki/Geguritan
http://ithinkeducation.blogspot.com/2012/12/geguritan-puisi-bahasa-jawa-javaneses.html
Menulis Geguritan
Bagi seorang pemula, membuat geguritan itu tidaklah mudah karena kita harus pintar merangkai kata berdasar pilihan diksi yang tepat.
Oleh karena itu ggeguritan dibagi menjadi dua, yaitu:
Secara garis besar, pembuatan geguritan ditahapkan sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi beberapa pengalaman menarik yang telah dialami.
b. Memilih salah satu pengalaman yang mengesankan sebagai bahan untuk menulis sebuah geguritan.
c. Menentukan dan menulis pilihan kata yang tepat, indah, dan bermakna untuk dijadikan bahan dalam menulis geguritan.
d. Menulis larik-larik geguritan berdasarkan pilihan kata yang tepat.
e. Menyunting geguritan yang telah ditulisnya sendiri maupun yang ditulis temannya.
KORUPTOR
Menulis Geguritan
Bagi seorang pemula, membuat geguritan itu tidaklah mudah karena kita harus pintar merangkai kata berdasar pilihan diksi yang tepat.
Oleh karena itu ggeguritan dibagi menjadi dua, yaitu:
- Geguritan Profan, yang berarti geguritan dengan menggunakan diksi sehari-hari sehingga penyampaian maknanya lebih mudah dipahami dan tetap mengutamakan keindahan dari geguritan tersebut.
- Geguritan Prismatis yaitu geguritan dengan menggunakan pilihan kata yang lebih sulit untuk dipahami sehingga memerlukan penggalian secara mendalam untuk memahami makna semantinya.
Secara garis besar, pembuatan geguritan ditahapkan sebagai berikut:
- pencarian ide
- pengendapan ide/perenungan (penggalian ide secara mendalam)
- penulisan
- editing dan revisi
a. Mengidentifikasi beberapa pengalaman menarik yang telah dialami.
b. Memilih salah satu pengalaman yang mengesankan sebagai bahan untuk menulis sebuah geguritan.
c. Menentukan dan menulis pilihan kata yang tepat, indah, dan bermakna untuk dijadikan bahan dalam menulis geguritan.
d. Menulis larik-larik geguritan berdasarkan pilihan kata yang tepat.
e. Menyunting geguritan yang telah ditulisnya sendiri maupun yang ditulis temannya.
Contoh Geguritan
KORUPTOR
Dening Nunuk Kheran
Apike di dhor
Amarga marakake tekor
Kanggone rakyat
Koruptor kudune ora kena
Urip ana ing Indonesia
Amarga jatahe rakyat
Diembat lan disikat
Lunga kana koruptor
Ayo menyang jabalakat
Koruptor, elinga
Marang tumindakmu
Akeh wong kesrakat
Kang perlu dirumat
Elinga kowe koruptor
Marang dina kiyamat
Penjebar Semangat;Nomor 49. 7 Desember 2013
Yèn
Rembulane Moblong, Paman
Dening I. Kunpriyatno
yén rembulané moblong, paman
aku kangen sanja menyang plataranmu
nggelar klasa sangisore wit gayam
jejadhuman karo ngematké swarané
bocah – bocah sing padha dolanan
yèn rembulané moblong, paman
aku kangen ngrungokake gumelegeré
guyumu
sanadyan sawah lan tegal siji mbaka
siji ilang. Sanadyan anak lanang
milih ngumbara ing paran
suthik ngopèni lemah warisan
yèn rembulané moblong, paman
aku kangen nyekseni marang keteguhanmu
nggegem sawijining kapitayan.
Ngadhepi
owah – owahané jaman. Kaya watu
karang
sing ora nate gigrig nantang
jumlegurè
alun ing satengahé wahudayan
Penjebar Semangat;Nomor 50. 12 Desember 2009
Marang Banowati
Dening Irul S Budianto
aja koksengguh aku ora ngerti, yayi
geneya rembulan cuwil ing wengi iki
jemparinge Janaka kebacut lumepes
tumancep dhadha bareng keteg-wiramane napas
aja koksengguh aku ora ngerti, yayi
geneya tamansari sansaya endah lan wangi
tresna sing kokronce saben sore karo dheweke
kuwawa nggogrokake godhong-godhong aking kae
senajan durung wancine
tumiba ing lemah pidakan iki
aja koksengguh aku ora ngerti, yayi
critane rembulan cuwil lan endahe tamansari
yen mengkone Astina klakon bedhah
lungide misteri bakal ancik-ancik sirah
Penjebar Semangat;Nomor 46. 16 Nopember 2013
Cara Membaca Geguritan yang Baik
Ketika kita ingin menyampaikan/membaca geguritan, kita harus bisa membawa penikmat geguritan itu ikut serta dalam merasakan apa yang kita sampaikan. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyampaikan isi geguritan, yaitu:
1. ekspresi / mimik wajah
ekspresi adalah pernyataan perasaan hasil penjiwaan puisi. Sedangkan mimik adalah gerak air muka yang digambarkan oleh pembaca geguritan.
2. kinesik
kinesik adalah gerak angota tubuh untuk menggambarkan isi dari geguritan tersebut.
3. kejelasan artikulasi
artikulasi adalah ketepatan dalam melafalkan kata-kata dalam penyampaian geguritan.
4. timbre
timbre adalah warna bunyi suara (bawaan) yang di milikinya
5. irama puisi artinya panjang pendek, keras lembut, tinggi rendah nya suara.
6. intonasi atau lagu suara.
7. mengatur pernafasan, artinya pernafasan haruslah diatur dan jangan tergesa-gesa dalam pengucapannya.
Berikut adalah contoh video pembacaan geguritan:
(Sumber: Mujiono. Jati Dhiri. Ponorogo:MGMP Basa Jawa.)
Teror
Pitik
Dening Fitrianingsih
Tembang Macapat 2
Cara Membaca Geguritan yang Baik
Ketika kita ingin menyampaikan/membaca geguritan, kita harus bisa membawa penikmat geguritan itu ikut serta dalam merasakan apa yang kita sampaikan. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyampaikan isi geguritan, yaitu:
1. ekspresi / mimik wajah
ekspresi adalah pernyataan perasaan hasil penjiwaan puisi. Sedangkan mimik adalah gerak air muka yang digambarkan oleh pembaca geguritan.
2. kinesik
kinesik adalah gerak angota tubuh untuk menggambarkan isi dari geguritan tersebut.
3. kejelasan artikulasi
artikulasi adalah ketepatan dalam melafalkan kata-kata dalam penyampaian geguritan.
4. timbre
timbre adalah warna bunyi suara (bawaan) yang di milikinya
5. irama puisi artinya panjang pendek, keras lembut, tinggi rendah nya suara.
6. intonasi atau lagu suara.
7. mengatur pernafasan, artinya pernafasan haruslah diatur dan jangan tergesa-gesa dalam pengucapannya.
Berikut adalah contoh video pembacaan geguritan:
Cerita Cekak (Cerkak)
(Sumber: Mujiono. Jati Dhiri. Ponorogo:MGMP Basa Jawa.)
(Sumber: Mujiono. Jati Dhiri. Ponorogo:MGMP Basa Jawa.)
Cerita Cekak kang uga diarani cerkak
iku yen dideleng saka wujud utawi blegere pancen mujudake sawijine cerita kang
cekak. Yen ta ditulis ing lembaran kertas ngono lumrahe kurang luwih sepuluh
lembar. Yen ta diwaca Cerita Cekak iku ora nganti sak jam rampung. Kejaba saka
iku yen ta dideleng saka cacahe paraga (tokoh) cerita, ing cerita cekak
paragane mung sethithik banget bisa uga mung wong loro nganti wong lima. Pancen
ing Cerita Cekak iku masalah utawi konflike (reruwete cerita) ora akeh (tidak
kompleks) jalaran carita kang diandharake uga cekak. Mligine ing jagade
(khasanah) kasustraan Jawa, Cerita Cekak iku diperang utawi digolongake dadi 3
jinis utawi genre. Iki cundhuk karo kang diandharake dening Prof. Dr. Setya
Yuwana Sudikan M. A. (salah sawijining Guru Besar Sastra saka Universitas
Negeri Surabaya), yen kang tinemu ing kalawarti (majalah) basa Jawa iku pancen
nuduhake kanyataan babagan anane genre mau.
Dene genre (jenis) Cerita Cekak mau yaiku: Cerita
Cekak sejati (kang ing kalawarti mung ditulis cerkak wae), roman sacuwil utawa
roman remaja (manja), lan carita alaming lelembut.
Cerita Cekak telung jenis iku duwe ciri wanci (kekhasan) lan pandhemen
dhewe-dhewe. Mula saka iku ing kalawarti Panyebar Semangat lan Jaya Baya tansah
ngemot (memuat) lan nyuguhake Cerita Cekak jinis mau. Istilah, aran utawi
jeneng Cerita Cekak iki ana ing
kalawarti Jaya Baya lan Panyebar Semangat, iku wis padha. Nanging jeneng cerita roman utawi roman sacuwil iku
dienggo dening Kalawarti Jaya Baya. Dene ing Panyebar Semangat diarani crita
roman remja kang banjur dicekak “manja”. Cerita alaming lelembut, dienggo
ing kalawarti Panyebar Semangat, dene ing Jaya Baya diarani cerita misteri. Apa
kang dadi isi lan kang diceritakake
dening telune jinise (genre) cerita mau
pancen beda banget. Ing cerita cekak kang banjur diarani cerkak, kang dianggep
minangka sejatine cerkak (cerpen
yang sesungguhnya) iku ngemot (memuat) cerita kang isine mentes (berbobot). Ing cerkak iki sapa
bae kang maca disuguhi ing sawijining masalah, diajak mikir lan diajak ngonceki
masalah nganti bisa ngudhari ruwete masalah mau. Ing cerkak iki para pamaca ora
mung dilelipur (dihibur) nanging uga diajak latihan mikir lan ngudhari masalah
kang tundhone (yang akhrinya) para pamaca bisa dadi pinter.
Dene kang ana ing cerita roman sacuwil apa dene
roman remaja iki para pamaca bakal oleh panglipur kang nyata. Ing kene ora ana
masalah kang kudu dipikur utawi diudhari. Para nom-noman, lan sapa bae kang
lagi nandhang kasmaran, lan wong tuwa sing kepengin “bernostalgia” ing jaman
nom-nomane mesthi seneng maca cerita cerkak
iki. Kanthi maca cerita roman
iki sapa bae bisa ngumbarake (mengembarakan) rasa sih katresnane nut ilining cerita kang
diwaca. Rasa asmarane bakal kegugah. Sawise maca pikolehe rasa seneng jalaran
lelakon ing cerita mau
padha utawi nyrempet karo kang dilakoni, sedhih jalaran katresnane ora ketekan,
trenyuh jalaran katresnane punggel (tragis), lan sapiturute.
Jinis utawi genre
cerita alaming
lelembut iki ora kena dianggep padha karo dongeng utawi wacan
bocah, jalaran cerita iki
pancen dudu wacane bocah. Kang memaca cerita alaiming lelembut utawi cerita misteri
iki golongane remaja nganti wong dewasa. Pancen ora kena diselaki yen bebrayan
utawi masyarakat Jawa iku percaya banget marang anane dhemit, gendruwo, setan,
dhanyangan lan bangsane lelembut liyane. Isine cerita alaming lelembut iki ora tinemu nalar nanging akeh para
pamaca kang seneng maca cerita iki
jalaran kaya bisa nggawa dheweke ing alam gaib. Sawijining alam ora bisa
dijangka utawi diambah kanthi badan wadhag (jasmaniah) nanging alam kang mung
bisa diambah karo badan alus (rokhaniah) lan keyakinan utawi kapitayan. Kejaba
saka iku para kang maca oleh pengalaman anyar kang ora bisa digayuh lan
diprangguli ing alam nyata.
Genre utawi jinis cerita cerkak kang diandharake ing dhuwur iku mau durung bisa
dirembug (dibahas) bebarengan. Nanging, saorane para siswa wis bisa oleh
gambaran yen kang diarani cerkak iku ing kasustraan Jawa ana telung (3) jinis.
Sabanjure
kang minangka dudutan (simpulan) cerita cekak (cerkak) yaiku:
1) Cerkak
iku cekak banget yen katandhingake karo roman lan novel.
2) Yen
ditulis kurang luwih mung 10 lembar.
3) Yen
diwaca ora nganti mbutuhake wektu 1 jam.
4) Paraga ceritane uga
sethithik, 2 nganti akeh-akehe 5 paraga,
5) Perkara utawi
masalah utawi konflik uga sethithik ora dawa kadlarung-dlarung.
UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERKAK
(Sumber: Mujiono. Jati Dhiri. Ponorogo:MGMP Basa Jawa.)
A)
Tema
(Underane kang minangka bakuning gagasan).
Tema iku minangka bakune gagasan kang kawedhar
(kalairake/ dicurahakan) dadi sawijining cerita. Mula uga kena diarani yen tema iku dadi underane
(pusat) cerita.
Jalaran apa kang kababar ing cerita iku
asal usule saka kene, ya saka gagasan pokok mau. Pangripta (pengarang) ora mung
cerita kaya
dene obrolan kang tanpa guna nanging ana bab kang pe\ingin diomongake.
Dheweke ngomongake masalah kang gegayutan karo urip lan panguripane manungsa
kang tundhone ngajak mikir amrih wong padha mangerteni tatanan utawi pernatan
urip kang luwih
becik. Tema ing cerita cekak (cerkak) iku beda karo tema kang ana ing cerita
wacan bocah. Ing cerita utawi
dongeng wacan bocah lumrahe tema iku manggon ing pungkasane cerita kang
uga lumrah diarani liding dongeng. Dene ing cerita cekak (cerkak) iku, temane (bakune
gagasan) pancen rada angel digoleki jalaran manggone sok-sok sumebar ing
sajroning cerita. Mula
saka iku tema cerita iku
bisane ketemu sawise diwaca nganti rampung. Yen wis diwaca nganti rampung
durung ketemu “tema” cerita mau
padatan dislamurake (disamarakan) ing: irah-irahan, omongan-omongane, pikirane,
prasaanane para paraga, prastawa-prastawa, setting (wektu, papan, swasanane,
prastawa cerita). Dene
anggone nulis utawa ngomongake tema cerita mau bisa arupa tembung, frasa utawa ukara.
B)
Latar (Setting).
Yen ngrembug latar (setting) ing cerita rekan
(fiksi) iku satemene ora mung ngrembug asal-usul, mula bukane, kawitane, wektu
kadadene lan papan panggonan sawijining prastawa bisa kedadeyan. Nanging luwih
saka iku, latar satemene ngrembug uga panggonan umum (padesan, pagunungan,
kutha utawa Negara), panggonan khusus (omah, kamar utawa papan cilik liyane),
wektu kasejarahan, adat tata carane masyarakat, pakaryan sarta lingkungan:
agama, moral, social, intelektual lan liyane. Kang kaya mangkene akehe saka apa
kang diwengku dening latar (setting) iki mesthi bakal mahanani (memberi pnegaruh) marang
isine cerita cekak (cerkak) mau. Tuladhane mangkene; yen kita nyritakake
masyarakat padesan, ing kene lumrahe digambarake yen wong padesan iku uripe isih
kecingkrangan, isih akeh kang buta hurup, nyandhang panganggone, sarta mangane
sarwa prasaja (sederhana), masyarakate guyup rukun lan liyane. Lan dadine aeng
(aneh) yen masyarakat padesan iku digambarake urip kang mubra-mubru, sugih,
intelek, nyandhang penganggone sarwa mewah, wonge padha ora kenal siji lan
sijine. Mula saka iku papan panggonan uga ana gandheng cenenge karo kahanan
“mental kejiwaan” para paragane sarta masalah (konflik) kang diadhepi.
C)
Paraga
(Tokoh Cerita) lan Watake (karakter).
Paraga yaiku wong kang dadi lakon.
Lumrahe paraga iku ketaman (tertimpa) sawijining perkara. Perkara kang
disandhang dening paraga mau bakal kagawa wiwit awal nganti pungkasan. Saengga
dadi rerangkenen cerita
(jalinan carita). Abot enthenge perkara utawi masalah kang disangga dening
paraga siji lan sijine iku mesthi bedane. Mula
saka iku ing kene paraga, iku bisa diperang dadi telu: yaiku (1) paraga
utama, (2) paraga kaloro (sekunder) lan (3) paraga tambahan (komplementer).
Paraga utama iku kang nggawa lakon (mengembang cerita) dadi lakon (menjadi pelaku cerita) lan uga kang
diceritakake
dening paraga liyane. Dene paraga kaloro (sekunder) yaiku paraga kang mbiyantu
paraga utama lan sok malah ana kang malah memalangi (menjadi panghalang/
memasuhi) paraga utama. Dene paraga tambahan iku paraga kang saliyane paraga
utama lan paraga kaloro. Paraga ing sajroning cerita iku uga diwenehi watak memper (mirip atau
menyerupai) watake manungsa ing alam nyata. Watake manungsa ing alam nyata iku
ngremit (kompleks) ananging watake paraga cerita iku prasaja bae (sederhana), lire (maksude)
prasaja yaiku, pangripta mung nengenake saperangan (sebagian) watak kang paling
manjila (menonjol).
Dene carane nemokake watake paraga cerita kang
ing ngisor iki:
1) watake paraga crita katon saka
solah bawa, polah tingkahe,
2) watake paraga crita katon saka
pangucape, omongane, alus utawi kasar tembunge nalika wicaran.
3) watake paraga katon saka kahanane
badan salira, deg piyadeg, praupan (rai) nyandhang panggone lan liyane.
4) watakae paraga crita lakon saka
gagasan, pikiran, paka kang digagas utawa apa kang dipikir.
5) watake paraga crita katon saka
rerasane (perbincangan) paraga carita liyan, dan sebagainya.
D)
Point of
View utawa Sudut Pandang
Point
of View yaiku dununging utawi jejering pengarang ing sajrone
crita kang diandarake. Jejering pengarang ana rong jenis, yaiku jejering
(kedudukan) minangka wong kapisan lan minangka wong katelu kang minangka
pengamat. Jejering pengarang minangka wong kapisan, Manawa penganrang dadi
paraga ing sajroning carita sarana nggunakake tembung “aku”. Dene pengarang
minangka wong katelu menawa pengarang migunakake tetembung “dheweke,
panjenengane, utawa nyebutake jejeneng tanpa ngliatakae awake dhewe”.
Tuladha: pangarang
minangka wong kapisan.
Tekaane mahasiswi sing arep skripsi ing omahku ngungkat lelakon kang wis lawas
kependhem. Dheweke ngaku aran Tukiyem, bocah saka Pacitan. Ya jeneng Pacitan
iku sing njalar aku kelingan lelakon sing wis kasilep meh setengah abad.
Tuladha: pangarang minangka wong katelu
Budi yakin, wong papat sragam abu-abu kang mentas metu saka Bank BPR Jatim
Cabang Kantor Jalan Thamrin Ponorogo iku genah anake Kepala Sekolah SDN
Wringinanom Sambit sing mentas nyetor dhuwit. Tandhane
padha seneng rupane.
E)
Amanat
Amanat
yaiku piwulang moral utawi pendhidhikan kang katujokake marang pamaca.
Amanat ing carita cekak dening pangarang disebarake ing carita kasebut. Mula
kanggo nemokake amanat perlu maca carita kanthi tuntas.
F)
Sambung
rapete utawa Gandheng
Sambung
rapete cenenge (Relevansi) crita karo kanyatan ing bebrayan
(Masyarakat). Kaya kang wis diandharake ing ngarep yen pangripta gawe crita iku
duwe sawijining tujuan. Wose (inti) tujuan mau yaiku ngajak bebrayan
(masyarakat) bareng mikir marang sawenehe kahanan kang tundhono (pada akhirnya0
bisa agawe kahanan ing bebrayan iki dadi luwih becik. Kejaba saka iku,
pangripta iku uga manungsa, kang dicritakake uga lelakone manungsa kang
diprangguli (ditemui) ing madyane bebrayan (di tengah masyarakat). Mula saka
iku yen di goleki gandheng cenenge karo kanyataan iku mesthi ana. Mung bae
sapira gandheng cenenge utawa sambung rapete karo kahanan bebrayan iku, kita
kudu pinter ngadhuk utawi ndhudhah.
G)
Nemokake
perangan kang Nengsemake utawi Nyenengake saka Cerita Cerkak
Bisaa gawe seneng lan bisaa gawe marem para kang maca
iku uga dadi tujuane pangripta. Pancen diajab dening pangripta, sawuse maca
crita cerkak iku para kang maca bisa nemokake sawijining lelipur (hiburan) lan
kasenengan (kepuasaan) ing sajroning batin. Lelipur karennaning ati lan
kesenengane ati iku saben wong siji lan sijine beda. Dene kang dadi sebabe
yaiku: jaralan basane endah, jalaran isine cerita ngandhut: piwulang sesurupan
(pengetahuan0 kang cocog karo kang dibutuhake, jalaran bisa sinau wewatake
manungsa utawa kepincut saka watake salah sawijine paraga kang paraga mau bisa
dadi pepujane, jalaran maca crita iku akeh manfaate, sarta akeh kang bisa
dituladha kanggo sangu urip bebrayan, lan liyane.
Contoh Cerkak
Dening Fitrianingsih
Ana ing tengah wengi iki Suprapti
ora bisa turu. Sinaosa sansaya wengi kuwi hawane sansaya adhem nyenyet, nanging
ya tetep ora bisa gawe Suprapti turu ayem. Dene bojone, si Pardi wis wiwit turu
jam sepuluh mau. Sajake ana sing dipikirake Suprapti saengga ndadekake dheweke
ora bisa turu nganti jam loro esuk iki. Mbuh apa kuwi ora ana sing ngerti.
Ngancik
jam setengah telu esuk, si Pardi ngrasa keganggu karo polahe Suprapti kang
klesak klesik mau, banjur nggregah tangi lan nakoni lirih kanthi mripat kang
isih riyep-riyep. Geneya kok Suprapti ora bisa turu nganti jam semene kuwi.
Nanging anehe, Suprapti ora bisa mangsuli lan ora ngerti apa sebabe dheweke ora
bisa turu nganti jam semene. Sajake atine ora tenang. Kaya-kaya bakal ana
kadadeyan ala kang kelakon. Nanging apa kuwi ya Suprapti ora ngerti. Kanthi
premati Pardi ngrungokake pangrasane bojone, banjur Pardi ngakon bojone
ngademake pikire lan ndang turu.
Sesuke,
pas jam setengah lima esuk Suprapti menyat tangi saka bale arep nyapu latar
kayak biasane.
“Aaaaaaaa.....
Pak Pak’e...” jerite Suprapti sak wise ngeti ana pitik mati guprat getih ing
ngarep lawang omahe.
Pardi
kang isih aras-arasen ana ing bale, langsung gumregah menyat tangi nututi
suwarane bojone kang njerit mau. Kriyep-kriyep mripate ora digagas karo Pardi.
“Ana apa ta bu? Esuk-esuk kok
njerit ngono kuwi? Gawe kagete wong wae!” ujare Pardi kang kaget.
“Kuwi lho, Pak... Ana pitik.
Hiiii.... Iku Pak, ana pitik mati guprat getih ning ngarep omah. Hiiii...”
wangsulane Suprapti kanthi gigrik mengkirik nudingi njaba omah.
Banjur
Pardi metu marani tudingane Suprapti. Sanalika mak tratap atine Pardi nalika
ngerti ana pithik mati guprat getih ning ngarep omah. Sajake iki pitik ora
pitik kang mati wajar lan ora sengaja bisa mati ing ngarep omahe. Nanging yen
ngeti kahanan pitik kuwi mau, Pardi bisa nyimpulake yen pitik mau kirimane wong
kang ora sreg karo kaluwargane. Ing bathine, “Dhuh Gusti, kadadeyan apa iki?
Sapa kang ngirimi pitik mati iki?” Banjur Pardi age-age mlebu ngomah luru pacul
kanggo ngubur pitik mau. Dene Suprapti isih lemes nglempuruk ana ing kursi
sudut ruang tamune.
Sawise
ngubur pitik mau, Pardi marani bojone lan matur “ Bu, ademke pikirmu. Ora susah
dipikir jero-jero kuwi namung pitik mati kok.”
“Hla
kok bisa Pak, pitik mati pas ana ing ngarep omahe dhewe. Yen ora ana sing
ngirimi ora bakal bisa ana ing ngarep omah ngono kuwi, Pak. Iki mesthi Pak
Wagino kae sing ngirimi amarga wonge kan ora tau seneng karo awake dhewe, Pak.
Dheweke kan seneng tumindhak culika marang keluwargane dhewe.” wangsulane
Suprapti kanthi ngunus curiga.
“Husssttt...
Aja gawe pandakwa kaya ngono kuwi! Ora apik, bu. Wong ora ana apa-apa kok. Bisa
wae pitik mau asale ketabrak montor, banjur kleyangan. Hla cilakane, matine
kuwi pas ana ing ngarep omahe dhewe.” wangsulane Pardi kanthi ngyakinake
bojone.
***
Pardi
budreg amarga kedadeyan matine pitik kuwi ora amung kebacut pitik kang mati
tanpa sebab ana ing ngarep omahe, nanging matine pitik kuwi wis bisa kebacut
teror amarga sajerone telung dina kaluwargane Pardi dikirimi pitik mati kang
wujude persis kaya ngono. Ora ngerti sapa lan apa sebabe kok bisa neror
kaluwargane kuwi. Suprapti kang pancen nduweni watak cerewet, banjur cerita
marang tangga teparone yen kaluwargane kuwi diteror karo wong kanthi dikirimi
pitik mati ana ing sajerone telung dina iki. Tangga teparo kang krungu cerita
Suprapti banjur nyaranake yen dheweke kudu matur menyang pulisi. Banjur Suprapti
ngakon bojone kanggo ngubungi pulisi wae, nanging Pardi ora duwe panemu kaya
ngono. Pardi penasaran karo wong sing neror kaluwargane. Saengga Pardi mutusake
yen dheweke pingin nyelidiki dhewe sapa kang neror keluwargane kuwi.
Wiwit
jam siji esuk, Pardi lan Suprapti wis melek, ora duwe niatan turu amarga arep
ngintik saka njero omah. Penasaran karo sapa kang wis neror kaluwargane ana ing
sajerone telung dina iki.
Pas jam telu ana wong kang
ngendhep-ngendhep mlaku nyedhaki omahe Pardi. Saka adoh samar-samar wong mau katon
kaya wong wadon. Dedeg dhuwur lencir, kulit sawo mateng, nanging klambi lan
rambute awut-awutan. Pardi namatake kanthi premati. Mak tratap atine Pardi
kaget. Wong wadon kuwi Darsih, randha ayu kang tau dadi bojo enome Pardi
nanging wis dipegat ana ing setaun mbiyene. Ujug-ujug Pardi kelingan kahanan
mbiyene. Nalika Pardi mendhep-mendhep nylingkuhi Suprapti kawin karo Darsih.
Nanging kahanan kuwi ora kaya kasunyatane. Pardi sebenere ora nduwe niatan
kanggo nylingkuhi Suprapti lan Pardi asline ora duwe rasa tresna babar blas
karo Darsih. Darsih pancen wis kesengsem banget karo Pardi nanging Pardi nampik tresnane amarga wis duwe bojo
Suprapti. Saking cuwane, Darsih nganti melet Pardi supaya gelem kawin karo
Darsih sinaosa mendhep-mendhep tanpa ana wong sijia kang mangerteni, mligine
Suprapti. Omah-omahe Pardi karo Darsih namung kelakon sesasi amarga Si Pardi disadarake
karo Kyai Sapatalu, pelet kang tumemplek ing awake Parto diilangake Kyai
Sapatalu. Tanpa mikir dawa-dawa Pardi nalak 3 Darsih banjur ninggalake Darsih
kanthi rasa wirang marang wong wedok kuwi. Nalika bebojoan karo Darsih pancen
polahe Pardi ora owah saka biyasane, mula Suprapti ora ngunus curiga babar blas
karo Pardi. Nanging, kagete Pardi yaiku setaun ora keprungu kabare Darsih kok
ujug-ujug neror kaluwargane kaya ngene.
Suprapti kang
melu ngintik karo Pardi, takon marang Pardi bener orane sing neror kuwi mbakyu
Darsih randha ayu saka Desa Sisih. Banjur Pardi nyritakake lelampahan njaman
mbiyene pas bebojoan karo Darsih. Mak tratap, kaya-kaya disambar gludhug ing wayah
awan-awan. Banjur Suprapti mlayu metu marani Darsih wanita kang wis gawe
dukane. Wanita culika kang arep ngrusak omah-omahane karo Pardi.
“Thuluuunggg....
Thuluuuungggg....” jerite Suprapti karo mlayu nyincing dastere.
“Wanita
ora duwe tata! Biadab! Culika kowe Darsih. Kowe melet bojoku, kok senggoh
bojoku kuwi bisa kepincut karo kowe! Biadab kowe Darsih! Kowe arep ngganggu
bojoku maneh?” ujare Suprapti kanthi duka.
Suprapti
mlayu marani Darsih kang ngguya-ngguyu tanpa duwe rasa salah. Ngranggeh rambute
Darsih dijambaki lan diuncit-uncit. Ngaploki awake Darsih kang namung kari
balung lan kulit. Dene Pardi sing ngerti bojone lagi ngamok Darsih langsung
mlayu nututi Suprapti lan nyekeli dheweke supaya ora tambah ilang kendaline.
“Wis ta Bu, eling aja ngono. Yen mbok antemi
bisa mati mengko Darsih, mendhing dilapurake wae menyang pulisi.” larangane
Pardi karo nyekeli awake Suprapti.
Tangga teparo kang krungu jerite
Suprapti banjur gumegrah tangi, mlayu marani jeritane Suprapti mau. Tangga
teparo padha kaget ngeti kahanan Darsih saiki. Sasuwene iki, Darsih pancen ngilang
ora ana sing mangerteni kok malah ujug-ujug marani omahe Parto lan neror
keluwargane. Mbuh merga apa, para tangga teparo ora padha ngerti. Sing cetha
Darsih saiki wis bedha karo Darsih sing mbiyene. Mbiyen Darsih dadi randha ayu
kang ditresnani kabeh wong lanang, saikine Darsih dadi wong edan gara-gara
tresnane karo Pardi kang wis duwe bojo Suprapti. Edan gara-gara tresnane
ditampik karo Pardi.
Tol
Jagorawi
Dening Fitrianigsih
Dening Fitrianigsih
Mobil sedan ireng plat H kang takparkir
ing parkiran kantorku, banjur age-age takputer. Sanalika aku langsung ngidhak
gas. Dakpeksa ngebut ana dalan. Aku rak peduli dibengoki Darman saka adohan.
Sing ana ing pikiranku namung kapiye anggonku bisa cepet tekan omah. Ora telat
lan ora gawe cuwaning bojoku, Narsih.
Surup iku, jam 17.45 WIB aku lagi
bisa balik saka kantor. Kamangka aku duwe janji karo bojoku yen aku bakal bali
ngomah luwih gasik. Ahhh... aku ngresula
ing ati. Pancen dadi anak buah ya bisane namung nuruti kepinginane bose.
Nanging pikiranku tak walik maneh, yen aku ora nuruti kepinginane bosku banjur
saka ngendi aku bisa makani bojoku? Apa maneh yen mengko bojoku wis babaran.
Aku ya mesthi bakal nguripi anak.
Mak tratab. Aku sadar saka lamunanku,
amarga diklakson mobil abang mburiku. Owalah, jebul lampu traffic light wis ijo, nuduhake yen aku kudu ndang mlayokake
mobilku maneh. Gas tak idhak kanthi cekatan. “Alah bajingan...” alokku kang
ndeleng dalane kang macet total. Arep mundur ora bisa, arep maju ya ora bisa.
Dumadakan aku krungu nyanyiane
Bruno Mars just the way you are.
Owalah... jebul Androidku muni. Aku ditelpon bojoku, piye iki bojoku mesthi
nesu-nesu. Saka adoh krungu suwarane bojoku kang lagi ngomel. Aku mung bisa
mangsuli, “Sabar ya, Dhik... iki Mas isih ning dalan kena macet.” Saka adohan
bojoku rasane wis cuwa ndenger aku bakal telat.
Age-age
aku ngidhak gas. Mobil sedanku tak playokake 90 km/jam. Aku ora peduli bakal
kaya apa mengko mobilku bar tak bladrakake kaya ngene. Sing ana ing pikiranku
namung siji kepiye anggonku bisa tekan ngomah lan bisa dinner karo bojoku. Kira-kira kurang setengah jam maneh aku tekan
ngomah. Tanpa mikir dawa-dawa, gas tak idhak terus nganthi tekan 100 km/jam.
Pas banget karo keadaan dalan kang lagi sepi.
Ngancik jam 18.06 WIB aku mlebu Tol
Jagorawi. Sinaosa nembe jam semono Tol Jagorawi wis sepi tan ana kendaraan liya
kang liwat. Dumadakan ana sak klebat bocah cilik mlayu nyebrang. Sanalika aku
ngidhak rem. Gubraakkk... “Dhuh Biyung, aku nabrak wong,” alokku ngresula.
Banjur cepet-cepet aku metu saka mobil, lingak linguk ana ing ngarep, mburi lan
ngisor mobil. Lha kok ora ana wujud wong, nanging sing taktemoni namung wujud
kucing kang guprat getih. Banjur kucing mau tak buwang ana ing pinggir dalan.
“Sokur, namung kucing sing taktabrak,” omongku lirih.
Sawise tekan ngomah aku disambut
karo bojoku Narsih.
“Mas, jenengan kok nembe kondur ta?
Jare wangsul gasik?” pitakone bojoku kanthi praupan kang cuwa.
“E ladalah cah ayu... kok ya mecucu
ta, Dhik?” godhaku karo ngrangkul wanita kang taktresnani kuwi.
“Lha Kangmas sampun nglanggar janji
kok, dos pundi Adhik boten nesu?” wangsulane karo mecucu.
“Heh mrenea Dhik, tak critani
kedadeyan mau,” omongku kanthi mantep banget.
Banjur
aku nyritakna kabeh kedadeyan sing bar tak lakoni mau. Awit aku dikon lembur
karo bosku, kena macet lan kedadeyan kang nyalawadi ing Tol Jagorawi mau.
Narsih ngrungokake critaku kanthi premati. Malah dheweke nyalahake aku amarga
mbuwang kucing sing taktabrak mau, aku kudune ngubur kucing mau ora malah
angger takbuwang kaya ngono. Bojoku wedi yen mengko bakal ana kedadeyan culika
lan bakal enthuk sial nganti pitung dina amarga aku ora ngrumati kucing sing
taktabrak mau.
“Alah
Dhik, jaman saiki wis maju. Ora susah percaya karo perkara ngono kuwi. Wis ora
bakal ana apa-apa,” omongku karo mesam-mesem.
“Mbok
ampun ngoten Mas, wonten jaman sakmenika lak inggih marga wonten jaman mbiyene
ta. Inggih mpun, mugi-mugi menika boten dados pratandha wonten kedadeyan culika
ingkang badhe kalampahan, Mas.”
“Ya
wis ora susah dibahas maneh Dhik. Jan-jane wetengku kok wis krucukan ya Dhik,”
omongku karo godha bojoku.
“Eh
lho inggih Mas, ngantos kesupen ta. Mangga Mas, dinner mawon.” wangsulane Narsih kanthi aleman.
Aku
kang digandheng namung bisa mesem mbalesi esem manise bojoku kang daktresnani
mau. Nunut lakune bojoku kang nggandheng ning ruang makan. Bojoku pancen wanita
kang kebak sih katresnan marang aku. Praupane kang ayu tur alus, ndadekake aku
nandhang wuyung. Tan bisa ngeti wanita liya, amarga pancen atiku wis kecantol
karo Narsih.
Sabubare mangan bareng, aku lan
bojoku banjur lungguh ana ing ruang tipi, jejagongan leren karo ngisik-ngisik
wetenge bojoku kang wis ngandhut anakku 9 wulan.
“Dhik, anake lagi nendhang iki lho.
Sajake kok ya wis ora betah ning jero wetengmu iki,” omongku kanthi mesem
ndelok Narsih. Bojoku namung mbales mesem.
“Mas jenengan boten saged cuti
nggih? Mangke menawi kula babaran lah kula boten dikancani kaliyan Mas.” ature
Narsih kanthi nyenden ana ing dadaku.
“Lha ya, mengko ibu lak ya sare
wonten mriki. Mengko ibu sing ngancani kowe ning ngomah. Aku yen cuti ora bisa
Dhik, mengko yen babaran aku lagi bisa njaluk cuti.”
***
Aku ngrasa ana sing aneh sabubare
kedadeyan nyalawadi ing Tol Jagorawi kala wingi. Sedina sabubare kedadeyan iku,
omahku dileboni ula kang ngosar ngoser ana jedhing. Bejane kok bojoku ora
ngerti amarga aku ora kepingin dheweke kepikiran ala terus. Ana ing kantor aku
ya dadi apes terus. Kerjaku kaya-kaya ora bisa bener ning ngarepane bosku.
Asring didukani bosku amarga telat mangkat kerja merga kena macet ning dalan,
sinaosa mangkatku ya luwih gasik saka biasane. “Wah... pancen yen lagi kena
sial ora bisa dialangi,” nggremengku ngomong dhewe.
Dina candhake, telung dina sawise
kedadeyan ning Tol Jagorawi kuwi aku ketemu wong lanang tua —klambine ireng,
rambut putih lan gawa tongkat— ana Alfamart. Mbuh sapa wong kuwi aku ya ora
ngerti. Sajake wong kuwi ndeleng aku kanthi premati, dideleng saka pucuk rambut
nganti dlamakan sikil. Aku ya padha wae, ndeleng mripat wong tua iku mau.
Sajake wong mau pingin ngomong karo aku. Banjur wong mau tak sumehi, nanging
ora bales sumehku banjur ngendhika “Nang, siapna kembang setaman lan jajan
pasar!” akone wong tua mau. Durung nganti aku takon maksute wong iku apa, e
malah wong mau wis ninggal aku. Takbengoki nanging wong mau tetep mlaku emoh
mandheg. Banjur aku mlebu mobil kanthi rasa penasaran. Maksute wong tua mau
apa? Bathinku takon-takon. Ahhh... ora ana apa-apa. Aku nyoba jawab pitakonanku
dhewe.
Mobil takgeblaske maneh menyang
omah. Ning omah aku ora cerita apa-apa marang bojoku amerga kuwatir yen aku
cerita mengko dheweke malah kepikiran. Kaya biasane, sawise kerja aku mesthi
dolanan ndisik karo anakku sing isih ning wetenge bojoku. Takisik-isik lan
takjak ngomong.
Ngancik limang dina sawise
kedadeyan ana Tol Jagorawi, aku ngrasa yen sial-sialku wis rada ilang. Nanging
dumadakan aku enthuk telpon saka ibu. Saka adohan aku krungu suwarane ibu,
“Nang, cepeta ning omah sakit ya, iki bojomu kelaran kayake arep babaran.” Mak
tratap atiku krungu ibu ngendhika ngono. Banjur aku langsung menyat nggeblas
mlayoke sedan irengku ning omah sakit Fatmawati. Atiku ora karuan. Tekan omah
sakit, aku takon ibu kepiye keadaane bojoku. Ibu ngendhika yen bojomu isih
kelaran durung bisa babaran.
“Dhik, piye keadaanmu?” takonku
melas.
“Lara, Mas...” wangsulane nangis.
Kanthi telaten aku nunggoni keadaan
bojoku sing wis ora duwe daya. Mung lemes tanpa tenaga. Ngrintih kelaran
nanging ora bisa netesake luhe maneh. Saya dina saya pasi praupane.
Rak tegel ngeti keadaane bojoku aku
langsung metu saka kamar. Lungguh nggejegrek ana bangku dawa. Ngempetake luh
kang tumiba ing pipiku. Ora bisa nahan maneh luh kang tumetes mau kanthi rasa
welas sihku marang Narsih. Dumadakan aku kelingan kedadeyan-kedadeyan sial kang
wis kelakon sadurunge bojoku arep babaran. Sanalika uga aku eling omongane wong
tua —sing taktemoni ning Alfamart— kuwi, aku dikon cawis kembang setaman lan
jajan pasar. “Apa iki maksute wong tua kuwi?” takonku lirih. Mbregas aku age-age lunga tuku kembang setaman
lan jajan pasar kaya kang diomongake wong tua mau. Banjur takgawa menyang Tol
Jagorawi, pase ana ing papan olehku nabrak kucing ana ing pitung dina
kepungkur. Ning kono uga aku njaluk ngapura menyang barang-barang sing ora bisa
dideleng kanthi mata. Njaluk digampangna olehe babaran bojoku.
Sarampunge aku njaluk ngapura ning
kono, aku bali menyang omah sakit. Bojoku bisa babaran. Atiku senenge ora
karuan. Dokter kang nangani bojoku ngendhika yen bojo lan anakku selamet.
Sanalika aku sujud sokur. Banjur aku nemoni bojo lan anakku. Mak tratab, atiku
kaget nalika ndeleng kahanane anakku kang cacat. Kupinge anakku wadon kaya
kucing.
Sejarah Macapat
Sejarah Macapat
Sejarah
Macapat minangka sebutan metrum puisi jawa
tengahan lan jawa anyar, sing nganti saiki isih ditresnani masarakat, nyatané
pancèn angèl dilacak sajarahé. Poerbatjaraka
mratélakaké yèn macapat lair bebarengan karo geguritan abasa jawa tengahan,
nalika macapat wiwit dikenal, durung diweruhi sacara premana. Pigeaud duwèni panemu yèn tembang macapat
dipigunakaké ing wiwitan periode Islam. Pratélan Pigeaud sing asipat informasi kira-kira iku
isih perlu diupayakaké kacocogan tauné sing mesthi. Déné Karseno Saputra
ngira-ira adhedhasar analisis marang sawetara panemu lan pratélan. Yèn nyata
pola metrum sing dipigunakaké ing tembang macapat padha karo pola metrum
tembang tengahan lan tembang macapat tuwuh ngrembaka sairing karo tembang
tengahan, mula banjur dikira-kira yèn tembang macapat wis ana ing kalangan
masarakat saora-orané taun 1541 masèhi. Pangira-ira iki adhedhasar angka taun
sing ana ing kidung Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma = 1643 J utawa 1541 masèhi. (
Saputra, 1992 : 14 ) Bab iki adhedhasar pola metrum macapat sing paling
wiwitan sing ana ing kidung Subrata. Watara taun iku tuwuh geguritan abasa jawa
kuno, jawa tengahan lan jawa anyar yaiku kekawin, kidung lan macapat. Taun
pangira-ira kuwi cocog uga karo panemuné Zoetmulder
luwih kurang ing abad XVI ing jawa urip bebarengan telu basa, yaiku jawa kuno,
jawa tengahan lan jawa anyar. Jroning Mbombong manah I (
Tejdohadi Sumarto, 1958 : 5 ) disebutaké yèn tembang macapat (
sing nyakup 11 metrum ) diciptakaké déning Prabu Dewawasesa utawa Prabu
Banjaransari saka Sigaluh ing taun Jawa 1191 utawa taun Masèhi 1279. Ananging
miturut sumber liya, macapat ora mung diciptakaké déning sawiji uwong, nanging
déning sawetara wali lan bangsawan. ( Laginem, 1996 : 27 ). Para pancipta
iku yakuwi Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan
Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Murya, Sunan
Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan
Pajang, Sultan Adi Eru Cakra lan Adipati Nata Praja. Nanging miturut kajian
ilmiah ana loro panemu sing duwèni prabédan ngenani lairé macapat. Panemu
sepisan mratélakaké yèn tembang macapat iku luwih tuwa tinimbang tembang gedhé
lan panemu kaloro suwaliké.
Kajaba panemu iku isih ana panemu liya ngenani lairé macapat
adhedahsar perkembangan basa:
1.
Tembang macapat luwih tuwa tinimbang tembang gedhé
Panemu pisanan nganggep yèn tembang macapat luwih tuwa tinimbang tembang gedhé
tanpa wretta utawa tembang gedhé kawi miring. Tembang macapat timbul ing zaman
Majapahit pungkasan nalika pengaruh kabudayan Islam wiwit surut ( Danusuprapta,
1981 : 153-154 ). Diandaraké déning Purbatjaraka yèn lairé macapat
bebarengan karo kidung, kanthi anggepan yèn tembang tengahan ora ana. (
Poerbatjaraka, 1952 : 72 ).
2.
Tembang macapat luwih anom tinimbang tembang gedhé
Panemu kaloro nganggep yèn tembang macapat lair ing wektu pengaruh kabudayan
Hindu sansaya tipis lan rasa kabangsan wiwit tuwuh, yaiku ing zaman Majapahit
pungkasan. Lairé macapat urut-urutan karo kidung banjur muncul tembang gedhé
abasa jawa pertengahan, sabanjuré muncul macapat abasa jawa anyar. Lan ing
zaman Surakarta wiwitan muncul tembang gedhé kawi miring. Wangun gubahan abasa
jawa anyar sing akèh disenengi yaiku kidung lan macapat. Prosès pamunculané
wiwit nalika lair karya-karya abasa jawa pertengahan sing biasa disebut kitab-kitab
kidung, banjur muncul karya-karya abasa jawa anyar arupa kitab-kitab suluk lan
kitab-kitab niti. Kitab suluk lan kitab niti iku mènèhi sumbangan sing gedhé marang
perkembangan macapat.
3.
Tembang macapat adhedhasar perkembangan basa Jroning
hipotesis Zoetmulder ( 1983 : 35 ) disebutaké yèn sacara linguistik basa
jawa pertengahan dudu arupa pangkal basa jawa anyar, nanging arupa rong cawang
singkapisah lan divergen ing basa jawa kuna. Basa jawa kuna minangka basa umum
sajroning periode Hindu – Jawa nganti runtuhé Majapahit. Wiwit tekané pengaruh
Islam, basa jawa kuna tuwuh miturut rong arah sing béda siji lan sijiné lan
nuwuhaké basa jawa pertengahan lan basa jawa anyar. Sabanjuré, basa jawa pertengahan
lan kidungé berkembang ing Bali lan basa jawa anyar kanthi macapat-é tuwuh ing Jawa. Malah
nganti saiki tradisi panulisan karya sastra jawa kuna lan pertengahan isih ana
ing Bali.
Tembang Macapat
Macapat iku tembang tradhisional ing tlatah Jawa. Saben bait macapat duwèni baris kalimat sing diarani gatra, lan saben gatra nduwé sawetara guru wilangan (suku kata) tinamtu, lan dipungkasi nganggo uni pungkasan sing diarani guru lagu. Biasané macapat dimaknani minangka maca papat-papat, yaiku cara maca saben patang wanda (suku kata). Nanging bab iki dudu siji-sijiné makna, penafsiran liya uga ana. Macapat dikira muncul ing pungkasan jaman Majapahit lan wiwitané pengaruh Walisanga, nanging bab iki mung kanggo kahanan ing Jawa Tengah. Sebab ing Jawa Wétan lan Bali macapat wis dikenal sadurungé teka Islam.
Macapat iku tembang tradhisional ing tlatah Jawa. Saben bait macapat duwèni baris kalimat sing diarani gatra, lan saben gatra nduwé sawetara guru wilangan (suku kata) tinamtu, lan dipungkasi nganggo uni pungkasan sing diarani guru lagu. Biasané macapat dimaknani minangka maca papat-papat, yaiku cara maca saben patang wanda (suku kata). Nanging bab iki dudu siji-sijiné makna, penafsiran liya uga ana. Macapat dikira muncul ing pungkasan jaman Majapahit lan wiwitané pengaruh Walisanga, nanging bab iki mung kanggo kahanan ing Jawa Tengah. Sebab ing Jawa Wétan lan Bali macapat wis dikenal sadurungé teka Islam.
Karya-karya kasusastran klasik Jawa saka jaman Mataram
Anyar, umumé ditulis nganggo metrum macapat. Sawijining tulisan jroning
wangun prosa utawa gancaran umumé ora
dianggep minangka asil karya sastra nanging mung kayadéné 'daftar isi' waé.
Sawetara tuladha karya sastra Jawa sing ditulis jroning tembang macapat kalebu Serat
Wedhatama, Serat Wulangreh, lan Serat
Kalatidha.
Puisi tradhisional Jawa utawa tembang biyasané dipérang dadi telung kategori: tembang cilik, tembang
tengahan lan tembang gedhé. Macapat digolongaké kategori tembang
cilik lan uga tembang tengahan, déné tembang gedhé arupa kakawin utawa
puisi tradhisional Jawa Kuna, nanging ing jaman Mataram
Anyar, ora dipatrapaké prabédan antara suku kata dawa lan cendhak. Saliyané
kuwi tembang tengahan uga bisa ngarujuk marang kidung, puisi
tradhisional jroning basa Jawa Tengahan.
Yèn dibandhingaké karo kakawin,
aturan-aturan jroning macapat kuwi béda lan luwih gampang dipatrapaké jroning
basa Jawa amarga béda karo kakawin sing didhasaraké marang basa
Sangskerta, jroning macapat prabédan antara suku kata dawa lan cendhak
dilirwakaké.
Aturan-aturan
jroning macapat mau antara liya:
- Guru gatra : wilangan larik/gatra saben pada (Indonesia: bait).
- Guru wilangan : wilangan wanda (Indonesia: suku kata) saben gatra.
- Guru lagu : tibané swara wanda ing pungkasan ing saben gatra.
Déné,
tembang utawa
sekar sejatiné ana werna-werna. Lumrahé dipérang dadi telung jenis, yaiku:
Sekar alit, sekar tengahan lan sekar ageng.
Étimologi
Macapat kerep dijarwakaké minangka maca papat-papat
awit carané maca pancèn rinakit saben patang wanda. Nanging iki dudu
siji-sijiné makna, penafsiran liyané uga ana. Sawijining pakar Sastra Jawa, Arps
ngandaraké sawetara makna liya ing bukuné Tembang in two traditions. Sajabané
sing wis kasebut ing dhuwur, makna liya yakuwi tembung -pat ngarujuk
marang cacahing tandha diakritis (sandhangan) jroning aksara Jawa
sing relevan jroning panembangan macapat.
Banjur miturut Serat Mardawalagu, sing
dikarang d’ening Ranggawarsita, macapat minangka cekakan saka frasa maca-pat-lagu
sing tegesé "nglgokaké nada kapapat".
Saliyané maca-pat-lagu, isih ana manèh maca-sa-lagu, maca-ro-lagu
lan maca-tri-lagu. Miturut ujaring kandha maca-sa klebu kategori
paling tuwa lan diciptakaké déning para Déwa lan diturunaké marang pandita
Walmiki lan ditangkaraké déning sang pujangga istana Yogiswara saka Kedhiri.
Nyatané iki klebu kategori sing saiki disebut kanthi jeneng tembang gedhé.
Maca-ro klebu tipe tembang gedhé yakuwi cacahing ‘’bait’’ (pada?)
saben pupuh bisa kurang saka papat sauntara kuwi cacahing sukukata (wanda?)
jroning saben bait (pada) ora mesthi padha lan diciptakaké déning Yogiswara. Maca-tri
utawa kategori sing katelu yakuwi tembang tengahan sing miturut ujar
diciptakaké déning Resi Wiratmaka, pandhita istana Janggala lan disampurnakaké
déning Pangeran Panji Inokartapati lan sadulur. Wusanané, macapat utawa tembang
cilik diciptakaké déning Sunan Bonang lan diturunaké marang para wali.
Tembang Macapat 2
Sekar Macapat utawa Sekar Alit
Macapat iki uga sinebut tembang macapat asli, kang umumé
dienggo sumrambah ing ngendi-ngendi. Urut-urutané tembang Jawa iku padha karo
lelakoning manungsa saka mulai bayi abang nganti tumekaning pati. Mungguh kaya
mangkéné urut-urutané tembang kaya kang ing ngisor iki:
- Maskumambang: Gambaraké jabang bayi sing isih ono kandhutané ibuné, sing durung kawruhan lanang utawa wadon, Mas ateges durung weruh lanang utawa wadon, kumambang ateges uripé ngambang nyang kandhutané ibuné.
- Mijil: Ateges wis lair lan wis cetha priya utawa wanita.
- Sinom: Ateges kanoman, minangka kalodhangan sing paling wigati kanggoné wong anom supaya bisa ngangsu kawruh sak akèh-akèhé.
- Kinanthi: Saka tembung kanthi utawa nuntun kang ateges dituntun supaya bisa mlaku ngambah panguripan ing alam ndonya.
- Asmarandana: Ateges rasa tresna, tresna marang liyan (priya lan wanita lan kosok baliné) kang kabèh mau wis dadi kodrat Ilahi.
- Gambuh: Saka tembung jumbuh / sarujuk kang ateges yèn wis jumbuh / sarujuk banjur digathukaké antarane priya lan wanita sing padha nduwèni rasa tresna mau, ing pangangkah supaya bisaa urip bebrayan.
- Dhandhanggula: Nggambaraké uripé wong kang lagi seneng-senengé, apa kang digayuh bisa kasembadan. Kelakon duwé sisihan / bojo, duwé anak, urip cukup kanggo sak kulawarga. Mula kuwi wong kang lagi bungah / bombong atine, bisa diarani lagu ndandanggula.
- Durma: Saka tembung darma / wèwèh. Wong yen wis rumangsa kacukupan uripé, banjur tuwuh rasa welas asih marang kadang mitra liyané kang lagi nandang kacintrakan, mula banjur tuwuh rasa kepéngin darma / wèwèh marang sapadha - padha. Kabèh mau disengkuyung uga saka piwulangé agama lan watak sosialé manungsa.
- Pangkur: Saka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka. Kang dipikir tansah kepingin wèwèh marang sapadha - padha.
- Megatruh: Saka tembung megat roh utawa pegat rohe / nyawane, awit wis titi wanciné katimbalan marak sowan mring Sing Maha Kuwasa.
- Pocung: Yen wis dadi layon / mayit banjur dibungkus mori putih utawa dipocong sak durungé dikubur.
Sekar Madya utawa Sekar Tengahan
Macapat
jenis iki kayadéné tembang Kidung kang asring dienggo rikala jaman Majapahit.
Sekar Ageng
Sekar
macapat Ageng (gedhé) mung ana siji, yaiku Girisa. Yen
dideleng seka angèlé, sekar macapat ageng kaya tembang Kakawin ing jaman
kuna.
Guru Gatra Guru Wilangan
Supaya
luwih gampang mbédakaké siji lan sijiné guru gatra, guru wilangan lan guru lagu
saka tembang-tembang mau, bisa ditata jroning tabel kaya ing ngisor iki:
Sekar Macapat
|
|||
Sekar Macapat
|
|||
Mijil
|
6
|
10, 6, 10, 10, 6, 6
|
i, o, e, i, i ,u
|
Sinom
|
9
|
8, 8, 8, 8, 7, 8, 7, 8, 12
|
a, i, a, i, i, u ,a ,i, a
|
Dhandhanggula
|
10
|
10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7
|
i, a, e, u, i, a, u ,a ,i, a
|
Kinanthi
|
6
|
8, 8, 8, 8, 8, 8, 8
|
u, i, a, i, a, i
|
Asmarandana
|
7
|
8, 8, 8, 8, 7, 8, 8
|
a, i, e, a, a, u, a
|
Durma
|
7
|
12, 7, 6, 7, 8, 5, 7,
|
a, i, a, a, i, a, i
|
Pangkur
|
7
|
8, 11, 8, 7, 12, 8, 8,
|
a, i, u, a, u, a, i
|
Maskumambang
|
4
|
12, 6, 8, 8
|
i, a, i, a, a
|
Pucung
|
4
|
12, 6, 8, 12
|
u, a, i, a
|
Jurudhemung
|
7
|
8, 8, 8, 8, 8, 8, 8
|
a, u, u, a, u, a, u
|
Wirangrong
|
6
|
8, 8, 10, 6, 7, 8
|
i, o, u, i, a, a
|
Balabak
|
6
|
12, 3, 12, 3, 12, 3
|
a, e, a, e, u, e
|
Gambuh
|
5
|
7, 10, 12, 8, 8
|
u, u, i, u, o
|
Megatruh
|
5
|
12, 8, 8, 8, 8
|
u, i, u, i, o
|
Girisa
|
8
|
8, 8, 8, 8, 8, 8, 8, 8,
|
a, a, a, a, a, a, a, a
|
MACAPAT
|
Alit
|
Mijil | Sinom | Dhandhanggula | Kinanthi | Asmarandana
| Durma | Pangkur | Maskumambang
| Pucung
|
Tengahan
|
Jurudemung | Wirangrong
| Balabak | Gambuh | Megatruh
|
Ageng
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar