Kawruh Basa


Huruf /Aksara Jawa dan Sejarahnya

Jawa selain terkenal dengan budayanya, juga memiliki bahasa yang menjadi khasnya yaitu huruf Jawa atau yang biasa disebut dengan aksara Jawa.  Asal usul terciptanya aksara jawa ini mempunyai banyak makna dan filosofi yang terkandung didalamnya yaitu tentang berbagai ajaran luhur mengemban amanat, sikap ksatria, loyal terhadap atasan, memegang teguh kejujuran, kerendahan atasan mengakui kesalahannya, keserakahan atau nafsu yang mampu dikalahkan oleh kesucian dan lain-lain.

·         Cerita dibalik Terjadinya Huruf Jawa (Legenda Hanacaraka)

Dikisahkan ada seorang pemuda tampan yang sakti mandraguna, yaitu Ajisaka. Ajisaka tinggal di pulau Majethi bersama dua orang punggawa (abdi) setianya yaitu Dora dan Sembada. Kedua abdi ini sama-sama setia dan sakti. Satu saat Ajisaka ingin pergi meninggalkan pulau Majethi. Dia menunjuk Dora untuk menemaninya mengembara. Sedangkan Sembada, disuruh tetap tinggal di pulau Majethi. Ajisaka menitipkan pusaka andalannya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Ajisaka sendiri.
Lain kisah, di pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang sangat makmur sejahtera yaitu kerajaan Medhangkamulan. Rakyatnya hidup sejahtera. Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh seorang raja arif bijaksana bernama Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar sangat cinta terhadap rakyatnya. Pada suatu hari ki juru masak kerajaan Medhangkamulan yang bertugas membuat makanan untuk prabu Dewatacengkar mengalami kecelakaan saat memasak. Salah satu jarinya terkena pisau hingga putus dan masuk ke dalam masakannya tanpa dia ketahui. Disantaplah makanan itu oleh Dewatacengkar. Dia merasakan rasa yang enak pada masakan itu. Dia bertanya daging apakah itu. Ki juru masak baru sadar bahwa dagingnya disantap Dewatacengkar dan menjawab bahwa itu adalah daging manusia. Dewatacengkar ketagihan dan berpesan supaya memasakkan hidangan daging manusia setiap hari. Dia meminta sang patih kerajaan supaya mengorbankan rakyatnya setiap hari untuk dimakan.
Oleh karena terus menerus makan daging manusia, sifat Dewatacengkar berubah 180 derajat. Dia berubah menjadi raja yang kejam lagi bengis. Daging yang disantapnya sekarang adalah daging rakyatnya. Rakyatnya pun sekarang hidup dalam ketakutan. Tak satupun rakyat berani melawannya, begitu juga sang patih kerajaan.
Saat itu juga Ajisaka dan Dora tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka heran dengan keadaan yang sepi dan menyeramkan. Dari seorang rakyat, beliau mendapat cerita kalau raja Medhangkamulan gemar makan daging manusia. Ajisaka menyusun siasat. Dia menemui sang patih untuk diserahkan kepada Dewatacengkar agar dijadikan santapan. Awalnya sang patih tidak setuju dan kasihan. Tetapi Ajisaka bersikeras dan akhirnya diizinkan.
Dewatacengkar keheranan karena ada seorang pemuda tampan dan bersih ingin menyerahkan diri. Ajisaka mengatakan bahwa dia mau dijadikan santapan asalkan dia diberikan tanah seluas ikat kepalanya dan yang mengukur tanah itu harus Dewatacengkar. Sang prabu menyetujuinya. Kemudian mulailah Dewatacengkar mengukur tanah. Saat digunakan untuk mengukur, tiba-tiba ikat kepala Dewatacengkar meluas tak terhingga. Kain itu berubah menjadi keras dan tebal seperti lempengan besi dan terus meluas sehingga mendorong Dewatacengkar. Dewatacengkar terus terdorong hingga jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Ajisaka kemudian dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan.
Setelah penobatan, Ajisaka mengutus Dora pergi ke pulau Majethi untuk mengambil pusaka andalannya. Kemudian pergilah Dora ke pulau Majethi. Sesampai di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat akan pesan Ajisaka saat meninggalkan pulau Majethi untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Ajisaka. Dora yang juga berpegang teguh pada perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka memaksa supaya pusaka itu diserahkan. Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Pada awalnya mereka berdua hati-hati dalam menyerang karena bertarung melawan temannya sendiri. Tetapi pada akhirnya benar-benar terjadi pertumpahan darah. Sampai pada titik akhir yaitu kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena sama-sama sakti.
Berita tewasnya Dora dan Sembada terdengar sampai Ajisaka. Dia sangat menyesal atas kesalahannya yang membuat dua punggawanya meninggal dalam pertarungan. Dia mengenang kisah kedua punggawanya lewat deret aksara. Berikut tulisan dan artinya:
Ha       Na       Ca       Ra       Ka
Ada sebuah kisah
Da       Ta       Sa        Wa      La
Terjadi sebuah pertarungan
Pa        Dha     Ja        Ya       Nya
Mereka sama-sama kuat
Ma      Ga       Ba       Tha     Nga
Dan akhirnya semua mati

Sedangkan dalam wujud asli tulisan atau aksaranya adalah sebagai berikut:

·        Sejarah Aksara Jawa Dari Tinjauan Historis
Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari Indhia bagian selatan.
Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan sekitar pada abad ke-4 Masehi. Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga), Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina).
Profesor J.G. de Casparis dari Belanda, yaitu pakar paleografi atau ahli ilmu sejarah aksara, mengutarakan bahwa aksara hanacaraka itu dibagi menjadi lima masa utama, yaitu:
  1. Aksara Pallawa Aksara Pallawa itu berasal dari India Selatan. Jenis aksara ini mulai digunakan sekitar abad ke 4 dan abad ke 5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa, yaitu di Tatar Sundha di Prasasti tarumanegara yang ditulis sekitar pada tahun 450 M. di tanah Jawa sendiri, aksara ini digunakan pada Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, termasuk aksara hanacaraka. Kalau diperhatikan, aksara Pallawa ini bentuknya segi empat. Dalam bahasa Inggris, perkara ini disebut sebagai huruf box head atau square head-mark. Walaupun aksara Pallawa ini sudah digunakan sejak abad ke-4, namun bahasa Nusantara asli belum ada yang ditulis dalam aksara ini.
  2. Aksara Kawi Wiwitan Perbedaan antara aksara Kawi Wiwitan dengan aksara Pallawa itu terutama terdapat pada gayanya. Aksara Pallawa itu dikenal sebagai salah satu aksara monumental, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis pada batu prasasti. Aksara Kawi Wiwitan utamanya digunakan untuk nulis pada lontar, oleh karena itu bentuknya menjadi lebih kursif. Aksara ini digunakan antara tahun 750 M sampai 925 M. Prasasti-prasasti yang ditulis dengan menggunakan aksara ini jumlahnya sangatlah banyak, kurang lebih 1/3 dari semua prasasti yang ditemukan di Pulau jawa. Misalnya pada Prasasti Plumpang (di daerah Salatiga) yang kurang lebih ditulis pada tahun 750 M. Prasasti ini masih ditulis dengan bahasa Sansekerta.
  3. Aksara Kawi Pungkasan Kira-kira setelah tahun 925, pusat kekuasaan di pulau Jawa berada di daerah jawa timur. Pengalihan kekuasaan ini juga berpengaruh pada jenis aksara yang digunakan. Masa penggunaan aksara Kawi Pungkasan ini kira-kira mulai tahun 925 M sampai 1250 M. Sebenarnya aksara Kawi Pungkasan ini tidak terlalu banyak perbedaannya dengan aksara Kawi Wiwitan, namun gayanya saja yang menjadi agak beda. Di sisi lain, gaya aksara yang digunakan di Jawa Timur sebelum tahun 925 M juga sudah berbeda dengan gaya aksara yang digunakan di Jawa tengah. Jadi perbedaan ini tidak hanya perbedaan dalam waktu saja, namun juga pada perbedaan tempatnya. Pada masa itu bisa dibedakan empat gaya aksara yang berbeda-beda, yaitu; 1) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada tahun 910-950 M; 2) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada jaman Prabu Airlangga pada tahun 1019-1042 M; 3) Aksara Kawi Jawa Wetanan Kedhiri kurang lebih pada tahun 1100-1200 M; 4) Aksara Tegak (quadrate script) masih berada di masa kerajaan Kedhiri pada tahun 1050-1220 M
  4. Aksara Majapahit Dalam sejarah Nusantara pada masa antara tahun 1250-1450 M, ditandai dengan dominasi Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aksara Majapahit ini juga menunjukkan adanya pengaruh dari gaya penulisan di rontal dan bentuknya sudah lebih indah dengan gaya semi kaligrafis. Contoh utama gaya penulisan ini adalah terdapat pada Prasasti Singhasari yang diperkirakan pada tahun 1351 M. gaya penulisan aksara gaya Majapahit ini sudah mendekati gaya modern.
  5. Aksara Pasca Majapahit Setelah naman Majapahit yang menurut sejarah kira-kira mulai tahun 1479 sampai akhir abad 16 atau awal abad 17 M, merupakan masa kelam sejarah aksara Jawa. Karena setelah itu sampai awal abad ke-17 M, hampir tidak ditemukan bukti penulisan penggunaan aksara jawa, tiba-tiba bentuk aksara Jawa menjadi bentuk yang modern. Walaupun demikian, juga ditemukan prasasti yang dianggap menjadi missing link antara aksara Hanacaraka dari jaman Jawa kuna dan aksara Budha yang sampai sekarang masih digunakan di tanah Jawa, terutama di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sampai abad ke-18. Prasasti ini dinamakan dengan Prasasti Ngadoman yang ditemukan di daerah Salatiga. Namun, contoh aksara Budha yang paling tua digunakan berasal dari Jawa barat dan ditemukan dalam naskah-naskah yang menceritakan Kakawin Arjunawiwaha dan Kunjarakarna.
  6. Munculnya Aksara Hanacaraka Baru Setelah jaman Majapahit, muncul jaman Islam dan juga Jaman Kolonialisme Barat di tanah Jawa. Dijaman ini muncul naskah-naskah manuskrip yang pertama yang sudah menggunakan aksara Hanacaraka baru. Naskah-naskah ini tidak hanya ditulis di daun palem (lontar atau nipah) lagi, namun juga di kertas dan berwujud buku atau codex (kondheks). Naskah-naskah ini ditemukan di daerah pesisir utara Jawa dan dibawa ke Eropa pada abad ke 16 atau 17. Bentuk dari aksara Hanacaraka baru ini sudah berbeda dengan aksara sebelumnya seperti aksara Majapahit. Perbedaan utama itu dinamakan serif tambahan di aksara Hanacaraka batu. Aksara-aksara Hanacaraka awal ini bentuknya mirip semua mulai dari Banten sebelah barat sampai Bali. Namun, akhirnya beberapa daerah tidak menggunakan aksara hanacaraka dan pindhah menggunakan pegon dan aksara hanacaraka gaya Durakarta yang menjadi baku. Namun dari semua aksara itu, aksara Bali yang bentuknya tetap sama sampai abad ke-20.
sumber :
http://sanggarseo.blogspot.com/2011/03/sejarah-dan-arti-huruf-aksara-jawa.html
http://rozieqien.blogspot.com/2009/04/sejarah-aksara-jawa-legenda-hanacaraka.html
[1] Anonimousc. 2009. Hanacaraka Saka Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Ing Basa Jawa. Http://www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 12 Februari 2009 Hal. 3
[2] Anonimousc. 2009. Hanacaraka Saka Wikipedia, Ensiklopedia Bebas Ing Basa Jawa. Http://www.wikipedia.com.
http://ariezelclassico.blogspot.com/2012/10/sejarah-huruf-jawa-hanacaraka.html



Mengungkap makna kehidupan dibalik huruf jawa
Adapun makna yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) HA NA CA RA KA:





 



Ha: Hurip = Hidup

Na: Legeno = Telanjang
Ca: Cipta = Pemikiran, ide atau kreatifitas
Ra: Rasa = Perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan

(2) DA TA SA WA LA




DA TA SA WA LA (versi pertama):
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.

DA TA SA WA LA (versi kedua):
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk

(3) PA DHA JA YA NYA:


 

PA DHA JA YA NYA = Sama kuatnya (tidak diartikan per huruf).

(4) MA GA BA THA NGA :

 
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi

Dari arti secara harfiah tsb, saya berusaha menjabarkannya menjadi dua versi:
**) Ketelanjangan=kejujuran
            Dalam hal ini, telanjang diartikan sebagai manusia yang masih suci keadaannya seperti bayi yang belum berdosa. Polos tanpa ada kebohongan di setiap tingkah lakunya dan jujur setiap perkataannya. Sedangkan  CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-karya . Sehingga HA NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan dan mengembangkan cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi kejujuran. Marilah kita jujur dan suci dalam bercipta, berrasa dan berkarya.
**)) Pengembangan potensi
Jadi HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia "dihidupkan" atau dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan "telanjang". Telanjang di sini dalam artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah manusia harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan cipta-rasa-karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan bentuk paling kuat dan seimbang) antara otak yang mengkreasi cipta, hati/kalbu yang melakukan fungsi kontrol atau pengawasan dan filter (dalam bentuk rasa) atas segala ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak, serta terakhir adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana semua kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai badan sensor manusia).
Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga "kelayakannya" sudah diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa aturan hukum dll).
Secara singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya manusia akan menjadi mayat ketika sukma atau ruh kita meninggalkan raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada akhirnya akan kembali juga kepada Alloh. Oleh karena itu kita harus senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Allah.

Sumber:
http://ariezelclassico.blogspot.com/2012/10/sejarah-huruf-jawa-hanacaraka.html




Sinau Nulis Aksara Jawa
Aksara jawa berbeda dengan huruf Latin yang kita gunakan sekarang ini untuk menulis. Dalam penulisannya aksara Jawa tidak menggunakan spasi. Aksara jawa terdiri dari :
1.   Aksara Carakan

Aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata ato biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu :
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga ;

2.  Aksara Pasangan
Bentuk mati (huruf) dari aksara inti, yaitu :
h, n, c, r, k, d, t, s, w, l,
p, dh, j, y, ny, m, g, b, th, ng
;



2.    2.   Aksara Swara

 
Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota atau nama
orang yang dihormati yang diawali dengan huruf hidup,
yaitu : A, I, U, E, O

3.      Aksara Rekan

Untuk penulisan huruf-huruf yang berasal dari serapan bahasa
asing, yaitu : kh, f, dz, gh, z
4.      Aksara Murda

Biasanya untuk huruf awal penulisan nama kota ato nama
orang yang dihormati, yaitu : Na, Ka, Ta, Sa, Pa, Nya, Ga, Ba
5.      Aksara Wilangan

Untuk penulisan bilangan dalam bahasa Jawa,
yaitu angka 1 s/d 10 dalam aksara Jawa.
6.      Tanda Baca (Sandangan)

Merupakan tanda baca yang biasa digunakan, huruf hidup
serta huruf mati yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari,
yaitu tanda : koma, titik, awal kamimat, dll
huruf : i, o, u, e.
huruf mati : _r, _ng, _ra, _re, dll
Setelah menguasai aksara-aksara di atas, kita tidak bisa langsung menggunakannya untuk menulis sebagai mana ejaan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab ada beberapa hal yang menjadi perkecualian dan menjadi aturan tambahan.

Sumber:






UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWA
Unggah-ungguhing basa Jawa, yaiku pranataning basa manut lungguhing tata krama. Tata krama, yaiku samubarang kang ana sambung rapete karo wong lagi ngomong supaya runtut anut paugeraning paramasastra.
Supaya jumbuh/trep karo unggah-ungguhing basa Jawa, mula menawa sesrawungan karo wong liya kudu:
1.      Basane netebi pranataning subasita
2.       Manut paugeran tata susila
3.       Basane gawe reseping ati
Basa Jawa iku duwe unggah-ungguh basa, yaiku sing mbedakake basa Jawa karo basa liyane kang dianggo pasrawungan manungsa. Dene cak-cakane nganggo wewaton ing antarane:
a.       Umur
Sing enom ngurmati sing tuwa
b.      Peprenahan
Adhi ngurmati marang kangmas/mbakyu
Anak ngurmati bapa lan biyung
c.       Drajat pangkat
Murid ngurmati marang gurune.
Pegawe ngurmati marang pangarsane.
d.      Drajat semat
Ngurmati wong sing sugih, lemahe amba, lan sapanunggalane.
e.       Trah
Ngurmati merga tedhak turune wongluhur, trahing kusuma rembesing madu.
f.       Luhuring pribadi Sarjana, pahlawan, ulama, lan sapanunggalane
g.      Tepungan anyar/durung kulina, adakane luwih diajeni
Undha-usuk basa utawa unggah-ungguh basa kang dianggo ing jaman saiki migunakake peprincene (pembagian) miturut Sudarto, yaiku basa ngoko (ngoko lugu lan ngoko alus) lan basa krama (krama lugu lan krama alus). Ing ngisor iki andharan sawetara basa ngoko. Dene andharan basa krama kababar ana ing wektu candhake.
Ø  BASA NGOKO
Basa Jawa Ngoko yaiku perangan Basa Jawa kanggo guneman marang wong sapadha-padha. Basa Ngoko isih kaperang dadi 2, yaiku :
1. Ngoko Lugu,yaiku minangka tataran basa kang paling asor ing undha usuk Basa Jawa. Wujud tembunge ngoko, ora ana tembung krama utawa krama inggil tumrap wong sing diajak guneman.  Gunane kanggo guneman antarane :
  • Wong tuwa marang bocah enom
  • Wong kang sadrajad utawa wis raket sesrawungane
  • Wong apangkat dhuwur marang pegawene
  • Bocah cilik karo kancane
  • Ngunandika (ngomong dhewe)
2.Ngoko Andhap, yaiku basa ngoko kang alus sarta luwih ngajeni marang wong kang diajak guneman. Wujude arupa basa ngoko kacampur tembung krama inggil tumrap wong kang diajak guneman. Yen dirasa kurang ngajeni sok dicampur tembung krama sawetara. Panganggone basa ngoko andhap iku kanggo guneman antarane :
  • Sedulur tuwa marang sedulur enom kang luwih dhuwur drajade
  • Bojone priyayi marang sing lanang
  • Priyayi marang priyayi yen wis ngoko-ngokonan (kulina/raket)
Basa ngoko andhap bisa diperang dadi :
a. Antya Basa (wujude tembung ngoko lan krama inggil). Ciri-cirine :
  • Aku, tetep ora owah
  • Kowe, kanggo pawongan kang diajeni diowahi dadi panjenengan, ki raka,kangmas
  • Ater-ater dak-, ko-, di- lan panambang -ku, -mu, -e, -ake ora owah
Tuladha :
  • Mas, aku nyuwun ngampil kagungane buku sewengi wae.
  • Ora, kangmas ki suwé ora ngetingal-ngetingal iku tindak ngendi?
  • Wah, adhimas ki rada ngece. Genah wis pirsa bae kok mundhut pirsa.
b. Basa Antya (wujude tembung ngoko, krama inggil lan krama). Ciri-cirine :
  • Aku, tetep ora owah
  • Kowe, kanggo pawongan kang diajeni diowahi dadi panjenengan, ki raka,kangmas
  • Ater-ater dak-, ko-, di- tetep ora owah
Tuladha :
  • Mas, aku ora bisa nyaosi apa-apa marang panjenengan, kejaba mung bisa ndherek muji rahayu, muga-muga panjenengan saged remen, lan saged ngangsu kawruh sing migunani tumrap nusa lan bangsa.
  • Dak arani sliramu dhèk mau bengi saèstu mriksani ringgit ana ing dalemé Pak Lurah. Gèk lampahé baé apa ya dhimas, teka gamelané sedalu natas ngungkung baé, ora ana pedhot-pedhoté.
Ø  BASA KRAMA 
1.      Krama Inggil
Bahasa krama inggil itu lebih menghargai orang lain, juga disebut basa krama halus.
Contohnya.
1. Bapak tindak dhateng Jakarta dinten Minggu.
2. Pak Bagyo nembe mucal kelas sekawan.
3. Pak Badrun mundhut sepatu.
4. Eyang kakung nembe siram.
5. Buku kulo dipun asto Bu Guru.
Kalau kita perhatikan, kalimat di atas diucapkan sangat halus sekali, sebagai bentuk untuk ngajeni (menghormati) antarane Bapak, Pak Bagyo, Pak Badrun, Eyang Kakung dan Bu Guru.

2. Krama Lugu
Kalimat berbahasa Jawa ragam Krama lugu : adalah kalimat yang didalamnya terdiri dari kata-kata berbahasa Jawa krama, kalimat ini biasanya digunakan untuk membahasakan diri sendiri. Terdiri dari kata-kata berbahasa Jawa krama.
Contoh  " Kula dereng tilem."



 




Tembung lan peranganing Tembung


Tembung yaiku rerangkening swara kang kawedhar saka jroning tutuk kang ngemu teges lan dimangerteni surasane. Saben rerangken swara kang metu saka jroning tutuk tur ngemu teges, iku diarani tembung. Dene yen ana rerangken swara kang metu saka jroning tutuk tanpa mawa teges, rerangken swara iku ora kalebu tembung.
Tembung kaperang dadi:
1.      Yèn dideleng saka babagan widya tembung (morfologi), tembung kapérang dadi rong jinis, yaiku :
2.      Miturut aktif utawa orané tembung Jawa kapérang dadi loro, yaiku :
3.      Yèn disawang miturut wewangunané, Basa Jawa kuwi ana maneka warna tembung, antawisé yaiku:
4.      Miturut golongané tembung ana 10 werna[1] [2] [3], yaiku:
Miturut kelas tembung:
  • Tembung kriya (Basa Indonésia: kata kerja utawa verba), tuladha: maca, nulis, mangan, nyapu
  • Tembung aran (Basa Indonésia: kata benda utawa nomina), tuladha: méja, lemari, buku. Kaperang maneh dadi:
    • Tembung sesulih (Basa Indonésia: kata ganti utawa pronomina), tuladha: aku, kula, kowé, panjenengan, iki, iku
    • Tembung wilangan (Basa Indonésia: kata bilangan utawa numeralia), tuladha: setengah, papat, enem
  • Tembung sipat/kaanan (Basa Indonésia: kata sifat utawa adjektiva), tuladha: seneng, susah, apik, putih
  • Tembung katrangan (Basa Indonésia: kata keterangan utawa adverbia), tuladha: kulon, wétan, tengah, ngisor
Tembung tugas
  • Tembung pangarep (Basa Indonésia: kata depan utawa preposisi), tuladha: ing, sing, saka, menyang
  • Tembung panyambung (Basa Indonésia: kata sambung utawa konjungsi), tuladha: lan, sarta, wusana, mulané
  • Tembung panguwuh (Basa Indonésia: kata seru utawa interjeksi), tuladha: ah. èh, adhuh, wah
  • Tembung sandhangan (Basa Indonésia: kata sandang utawa artikel), tuladha: Sang, Raden, Hyang, Kyai
  • Tembung partikel (Basa Indonésia: partikel), tuladha: -kah, -lah, -pun dan -tah




Tembung Lingga lan Tembung Andhahan
Yèn dideleng saka babagan widya tembung (morfologi), tembung kapérang dadi rong jinis, yaiku :
A.    Tembung Lingga (Basa Indonesia: Kata dasar)
Tembung lingga iku tembung sing durung owah saka asalé (tembung asal). [1][2] Tembung lingga duwé teges kang bisa béda nalika wis diwènèhi ater-ater utawa panambang kang banjur dadi Tembung Andhahan. Saben tembung lingga bisa ndadekake tembung andhahan.
Tuladha: sapu, pangan, arit, tuku, pacul, lsp.

Tembung lingga semu

Tembung lingga semu inggih menika ambalan semu bentuk bahasa ingkang nuduhaken tembung ambal murni. Bentuk menika boten saged dipunpisahaken,boten nedahaken teges kados makna tembung ulang murni umumipun. Tembung lingga semu dipunbedaken kalih macem, inggih menika :
1.      tembung ambal semu ingkang saged dipunlacak, tuladhanipun:
·         ula-ula
·         aling-aling
·         undur-undur
·         uget-uget
2.      tembung ambal ingkang boten saged dipunlacak, tuladhanipun:
·         ali-ali
·         alang-alang
·         api-api
B.     Tembung Andhahan (Basa Indonesia: Kata jadian)
Tembung Andhahan utawa kata jadian yaiku tembung sing wus owah saka linggane amarga kawuwuhi imbuhan (tembung lingga kang wus dirimbag). Pangrimbage tembung lingga dadi tembung andhahan iku kanthi muwuhake imbuhan ing ngarep, buri, utawa tengahe tembung lingga. Kabeh imbuhan iku kalebu wujud terikat. Imbuhan basa Jawa wujude ana papat, yaiku ater-ater, seselan, panambang, lan imbuhan bebarengan.

1.Ater-Ater
Ater-ater (awalan)  iku imbuhan kang dununge ing kiwaning tembung utawa ing ngarep tembung. Ater-ater basa Jawa yaiku ater-ater anuswara (m-, n-, ng-, ny-), ater-ater  a-, ka-, ke-, di-, sa-, pa-, pi-, pri-, pra-, tar-, kuma-, kami-, lan kapi-.
Tuladha
Ater-ater anuswara
m-       + pacul        à macul
m-       + weling      à meling
n-        + tutup        à nutup    
n-        + telat         à nelat
ng-      + keplak     à ngeplak
ng-      + kancing    à ngancing
ny-      + sambel     à nyambel
ny-      + suling       à nyuling
a-        + wujud      à awujud
a-        + teges       à ateges
ka-      + jupuk       à kajupuk
ka-      + tulis          à katulis
ke-      + jepit         à kejepit
ke-      + pidak       à kepidak
di-       + baling       àdibalang
di-       + wulang     à diwulang
sa-       + gelas        à sagelas            à segelas
sa-       + dina         à sadina             à sadina
sa-       + wengi       à sawengi
pa-      + etung        à paetung         à petung
pa-      + enget        à paenget         à penget
pa-      + warta        à pawarta
pa-      + laden        à paladin
pi-       + tutur          à pitutur
pi-       + wales        à pinwales
pra-     + lambang    à pralambang
pra-     + tandha      à pratandha
pri-      + kanca       à prikanca
pri-      + bumi         à pribumi
tar-      + kadhang    à tarkadhang
tar-      + tamtu        à tartamtu
kuma-  + lancang     à kumalancang       à kumlancang
kuma-  + ayu           à kumaayu             à kemayu
kami-   + tetep         à kamitetep           kapi + lare à kapilare

2. Seselan
Seselan utawa sisipan yaiku imbuhan kang kadunungake ing tengah tembung. Seselan ing basa Jawa cacahe ana papat, yaiku –um-, -in-, -er-, -el-.
Tuladha:
Pinter     + -um-   à puminter        à kuminter
Bagus    + -um-    à bumagus       à gumagus
Cacad    + -in-     à cinacad
Tulis       + -in-     à tinulis
Kelip      + -er-    à kerelip           à krelip
Gandhul  + -er-    à gerandhul      à grandhul
Titi         + -el-     à teliti               à tliti
Kepyur  + -el-     à kelepyur        à klepyur

3. Panambang
Panambang utawa akhiran (sufiks) yaiku imbuhan sing dumunung ing buri tembung. Panulise kudu sumambung rapet karo tembung kang ana ing sisih kiwane (serangkai) lan ora kena kapisah. Panambang ing basa Jawa kayata –i, -a, -e, -en, -an, -na, -ana, -ane, lan –ake.
Tuladha:
Lara        + -i           à larai                 à larani
Antem     + -i           à antemi
Tangi       + -a         à tangia
Gelem     + -a          à gelema
Dara       + -e          à darae              à darane
Pacul       + -e         à pacule
Suduk     + -en        à suduken
Lemes     + -an       à lemesan
Lungguh  + -na        à lungguhna
jupuk      + -na        à jupukna
Kandha   + -ana      à kandhaana     à kandhanana
Kanca     + -ana      à kancanana     à kancanana
Tamba    + -ane      à tambaane       à tambanana
Gebug    + -ane      à gebugane
Kendho  + -ake      à kendhoake     à kendhokake
Utang     + -ake      à utangake

4. Imbuhan Bebarengan
Imbuhan bebarengan iku imbuhan kang awujud ater-ater lan panambang kang kawuwuhake ing tembung lingga kanthi bebarengan.
Tuladha:
Ka-        + dhisik            + -an        à kadhisikan
Ka-        + liwat              + -an        à kaliwatan
Pa-         + papring          + -an        à papringan
Pa-         + awu               + -an        àpaawuan        àpawon
Pa-         + uwuh              + -an       à pauwuhan     à pawuhan
m-          + lumpat           + -i           à mlumpati
m-          + buwang          + -i          à mbuwangi
n-           + jiwit               + -i          à njiwiti
n-           + tutup              + -i          à nutupi
ng-         + keplak           + -i          à ngeplaki
ng-         + lungguh          + -i          à nglungguhi
ny-         + suguh             + -i          à nyuguhi
ny-         + cukil               + -i          à nyukili
di-          + jupuk             + -i          à dijupuki
di-          + tulis                + -a         à ditulisa
di-          + salin               + -ana      à disalinana
di-          + kandha           + -ana      à dikandhanana
di-          + wales             + -ake      à diwalesake

Sumber:



Tembung Tanggap lan Tembung Tanduk

Tembung tanggap yaitu tembung lingga sing oleh ater-ater tripurusa(dak, ko dan di) lan seselan -in.
Macam dan warna tembung tanggap dibagi menjadi 4 maca:
1.      Tanggap Tripurusa.
Yaiku tembung lingga sing oleh ater-ater tripusura.
Tuladhane:
dakpangan.
kojupuk.
dibalangi.
2.      Tanggap na.
yaiku tembung lingga sing oleh seselan -in.
Tuladhane:
tinulis.
tinubruk.
2.      Tanggap tarung.
yaiku tembung dwilingga sing oleh seselan -in tripusura.
Tuladhane:
sawang-sinawang.
cokot-cinokot.
3.      Tanggap ka.
Yaiku tembung lingga sing oleh ater-ater -ka.
Tuladhane:
kaobong.
kagendhong.

Tembung tanduk yaiku sakabehig tembung lingga kang olih ater-ater swara irung. Tembung tanduk yaiku tembung lingga jroning Basa Jawa sing olèh ater-ater hanuswara (m-, n-, lan ny-). Ana telung jinis tembung tanduk, yakuwi:
1.      Tembung tanduk kriya wantah, yaiku tembung sing ora olèh panambang. Tuladha: maju, ngadeg, nyapu.
2.      Tembung tanduk i- kriya, yaiku tembung tanduk sing olèh panambang i. Tuladha:
nulungi, ngumbahi, nyaponi.
3.       Tembung tanduk ke- kriya, yaiku tembung tanduk sing diwèmèhi panambang -ké utawa -aké. Tuladha: nyèlèhaké, nuduhaké, mbalèkaké.

Sumber :




Miturut wewangunane, tembung kaperang dadi 6 yaiku:

1.      Tembung Garba

Tembung garba yaiku tembung loro utawa luwih sing dadi siji kanggo ngurangi cacahing wandane.

Tuladha:
a. jiwa + angga = jiwangga

b. lebda + ing = lebding

c. nara + endra = narendra

d. dupi + arsa = dupyarsa

2.      Tembung Saroja

Tembung saroja iku tembung kang rinakit seka rong (2) tembung kang (mèh) padha tegesé lan bisa nuwuhaké makna kang luwih teges. Bisa maknané perkara kang ana sesambungané, bisa uga kahanan kang mbangetaké.

Panganggone Tembung Saroja :
1.     Wong  Jawa pranyata nduweni kabudayan kang adi luhung.
2.     Pegaweyane mung angkat junjung, apa bisa nyukupi kebutuhane kulawargane ?
3.     Direwangi njungkir njempalik meksa ora bisa cukup kanggo mangan saben dinane.
4.     Dedeg piadege gedhe dhuwur tur gagah prakosa.
5.     Satriya ing Madukara iya raden Harjuna pranyata satriya kang sekti mandraguna.
Tuladha:
·            sato kéwan = perkara kéwan
·            ayem tentrem = tentrem tenan
·            tepa tuladha = tuladha
·            tresna asih = asih tenan
·            colong jupuk = perkara nyolong utawa kagiatan nyolong.
3.      Tembung Éntar
Tembung Entar yaiku tembung loro utawa luwih sing digabung dadi siji lan tegesé dadi béda saka asal-usulé. Tembung éntar tegesé ora kaya teges saluguné (kata kiasan) utawa tembung kang ora kena ditegesi sawantahé baé. Ing basa Indonesia diwastani tembung silihan (kiasan), ing basa walanda diwastani Figuurlijke betekenis.
Tuladha:
abang-abang lambe : ora temenan utawa mung lelamisan.
abang raine : wirang, isin.
adol bagus, adol ayu : mamerake baguse, mamerake ayune.
adus kringet : nyambut gawe abot, mempeng.
ala jenenge : ora dipercaya awong liya.
alus tembunge : omongane kepenak dirungokake.
atine ana wulune : duwe kekarepan ala, drengki srei.
bau suku : tenaga, abdi.
mbukak wadi : ngandhakake wewadine/rahasiane.
mbuwang tilas : nutupi tumindake sing ala.
cagak elek : srana supaya betah melek.
cagak urip : srana kanggo nyukupi kebutuhane urip.
cepak rejekine : gampang golek rejeki.
cilik atine : sumelang, kuwatir
4.      Tembung camboran
Tembung camboran (basa Indonesia: kata majemuk), kuwi rong tembung utawa luwih kang digandhèng dadi siji ngliwati sawijining prosès morfologi. Prosès morfologi yakuwi prosès owah-owahan saka morfem dadi polimorfem, sing nduwèni kategori lan makna wutuh, saéngga polimeorfem iku disebut tembung. Jroning basa jawa, ana telung prosès morfologi sing disinaoni, yakuwi: prosès wuwuhan (pengimbuhan), prosès rangkep (pengulangan), lan prosès camboran (pemajemukan). Prosès camboran (pemajemukan) yaiku prosès panggabungan morfem dhasar, sing biasa digabung yakuwi lingga karo lingga liyané. Camboran dipérang dadi loro, yaiku: camboran wutuh lan camboran udhar. Camboran wutuh minangka camboran sing konstruksiné digabung, saéngga ngasilaké siji makna. Déné camboran udhar arupa camboran sing konstruksiné kapisah lan maknané isih digabung, saliyané kuwi unsuré isih bisa digolèki.

Miturut wutuh orané

Miturut wutuh orané, tembung camboran iki kapérang dadi loro, yakuwi:
1.      Tembung camboran wutuh, contoné: sisib sembir, baya pakéwuh, raja lélé lsp.
2.      Déné wujud sijiné yakuwi wis dicekak (wancah). Contoné: bangjo: abang-ijo, barji barbèh: bubar siji bubar kabèh, gaji wakma: sega siji iwaké lima, nasgithel:panas legi kenthel lsp.

Miturut hubungan wanda

Miturut hubungan wanda siji lan sijiné, tembung camboran bisa dipilah dadi telu, yakuwi:
1.      Tembung camboran kang nduwèni teges sadrajad. (kopulatif). Contoné: gedhé cilik, tuwa nom, sumbang surung, sandhang pangan lsp. Reroncèn tembung bisa uga ditambahi tembung "lan" utawa"saha".
2.      Tembung camboran kang tembung kapidhoné nerangaké tembung kapisan (determinatif). Contoné: jambu kapuk, pelem gadhung, manuk dara, lsp.
·            Tembung camboran kang tembung kapisan nerangaké tembung kapindhoné. Conto: Parama sastra = sastra kang parama (linuwih), Pandhu putra = putrané Pandhu, lsp.
Tuladhane:
Camboran Wutuh
1.       Meja tulis, lemari kaca, buku gambar, pager kayu, lsp (lan sak panunggalane)
2.       Anjani putra, Bima putra, Pancasila, Wijaya Kusuma, lsp
3.       Anak Kadang, japa mantra, candhak kulak, edi peni, lsp
4.       Dewa-dewi, siswa-siwi, yaksa yuksi, putra-putri, lsp
5.       Lanang-wadon, gedhe cilik, enom tuwa, mangkat mulih, lsp

B.      Camburan Tugel (Wutuh)
1.       Bangcuk       : abang- pucuk
2.       Banjo            : Abang – Ijo
3.       Barbeh         : Bubar – kabeh
4.       Barji              : Bubar siji
5.       Budhe           : Ibu –gedhe
6.       Bulik              : Ibu – cilik
7.       Dhegus         : Gedhe – bagus
8.       Guru              : digugu –ditiru
9.       Kupluk          : Kaku –Nyempluk
10.   Kuping          : Kaku – Njepiping
11.   Legi               : Lemu –ginuk-ginuk
12.   Paklek           : Bapak Cilik
13.   Saerah           : Sae –Murah
14.   Tingwe          : Nglinting Dhewe
15.   Thukmis        : Bathuk –klimis
16.   Wandhak      : Dewa –Cendhak.

5. Tembung Rangkep
Tembung Rangkep (Basa Indonésia: Kata ulang), kuwi sakabèhing tembung (senadyan mung sawanda), kang diwaca kaping pindho. Tembung Rangkep iki dibédakaké dadi telung werna, yakuwi: tembung dwilingga, tembung dwipurwa lan tembung dwiwasana.

Tembung Dwilingga

Miturut owah orané lingga

·Dwilingga padha swara, yakuwi tembung kang diwaca kabèh linggané kaping pindho. Tuladhané: ibu-ibu, bapak-bapak, ésuk-ésuk, ramé-ramé.
·Dwilingga salin swara, yakuwi tembung kang diwaca kaping pindho nanging ana wanda vokal kang owah. Tuladhané: mloka-mlaku, mleba-mlebu, meta-metu, mrana-mréné.

Miturut tegesé

Tembung dwilingga bisa dipérang miturut tegesé utawa dadiné, yaiku:
·Dadi tembung aran. Tuladha: undur-undur, uget-uget, alang-alang, ari-ari, ali-ali.
·Dadi tembung kahanan. Tuladha: mangar-mangar, kelap-kelip, rintik-rintik.
·Mbangetaké. Tuladha: Aja asin-asin (aja asin banget), Aja seru-seru (aja seru banget).
·Tansah. Tuladha: Wis ajar kok ora isa-isa (tansah ora bisa), Arep wiwit maca kok lali-lali waé (tansah lali).
·Senadyan. Tuladha: Alon-alon (senadyan alon), cilik-cilik (senadyan cilik).
·Wektu. Tuladha: Awan-awan, bengi-bengi, bedhug-bedhug.
·Paling. Tuladha: Murah-murahé, akèh-akèhé, larang-larangé.

Tembung Dwipurwa

Tembung Dwipurwa kuwi tembung kang diwaca kaping pindho mung ing wanda kang pisanan baé. Tuladha: dedunung, tetuku, lelaku, leluri,sesawangan.

Tembung Dwiwasana

Tembung Dwiwasana kuwi tembung kang diwaca kaping pindho mung ing wanda kang kapindho (mburi). Tuladha: cekikik, cekakak, jelalat, mbedhudhug, jegègès.

6.Tembung Rurabasa

Tembung rurabasa yaiku rakitaning tembung kang luput, nanging wis umum utawa lumrah, menawa dibenerake malah dadi saya salah, mula uga diarani salah kaprah.
Tuladha:
a. nggoreng peyek
b. nggawe lemari
c. mbakar sate
d. negor gedhang
e. menek krambil

         Sumber:
 


1 komentar:

  1. WE Grant Hard dhuwit silihan

    We ngawèhaké hard dhuwit silihan lan saben jinis liya saka silihan, karo tingkat kapentingan kiro-kiro saka 3% - 5%. We ngawèhaké metu silihan Bangsa Wide, kiro-kiro saka 1,000.00 nganti 100 yuta USD / kilogram / ​​EURO. We mbiayai 100% lan karo LTV saka 75% -85% ing situs disualekno.

    We offer jinis ing ngisor iki Hard Artha Loans:

    Hard Artha Loan; Baris kredit,
    Komersial Hard Artha Loans
    Pribadi Hard Artha Loans
    Business Hard Artha Loans
    Investasi Hard Artha Loans
    Pangembangan Hard Artha Loans
    Disualekno-Loans Peralatan Leasing
    Wiwit-wiwitan Loans Commercial Property Loans
    Persediaan Loans Unsecured Borrowing
    Konstruksi silihan
    Akun Receivable Loans garis kredit
    Fostering Warehouse Financing
    machinery Loans
    Pasangan Capital Loans Flooring Lines
    Tetanèn Loans, International Loans
    Tuku Urutan Financing: Sakbenere ANY TYPE BUSINESS silihan
    E.T.C. ..

    Yen kasengsem hubungi kita liwat email; fredlenders01@gmail.com

    regards
    Pak Fred Finns

    BalasHapus